14. Keabadian Menyedihkan

162 33 0
                                    

Seorang guru muda memasuki sebuah ruangan gelap yang hanya diisi oleh rak-rak buku tua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang guru muda memasuki sebuah ruangan gelap yang hanya diisi oleh rak-rak buku tua. Di antara dua rak buku besar terdapat satu orang lain yang duduk bersandar santai sembari membaca buku mantra. Si guru mendekat, lalu menyapa lebih dulu.

"Jadi, kau sudah tahu alasannya?"

Sunghoon menoleh sekilas, namun kendati demikian  dia tetap memperhatikan headline berita yang tercetak di atas kertas tipis. "Iya, aku sudah mempelajari segel yang ada di tubuh mereka. Milik Jay sudah rusak, tak ada yang bisa kita lakukan."

Lantas guru itu pun mengangguk, dia Guru Choi, begitu biasanya para murid memanggilnya. Guru yang sedari awal menemani Jay ke gedung asrama sekaligus mengantar pemuda itu sampai ke lantai kamarnya. "Lalu, bagaimana?"

"Jungwon jarang terlihat di akademi, tapi belakangan ini Jay selalu bilang padaku kalau dia melihat Jungwon berkeliaran saat malam hari. Aku curiga kalau itu bukan Jungwon yang asli." Sunghoon memulai cerita panjangnya.

"Apa maksudmu? Jay salah mengira orang, begitu?" Guru Choi menghisap cerutu kayu dengan perlahan.

"Bukan, Jay memang melihat Jungwon dari segi rupa, tapi sebenarnya itu bukan Jungwon." Sunghoon mengetuk-ngetuk jarinya pada meja seolah sedang mempertimbangkan hal besar.

"Aku tidak mengerti, tolong jelaskan lebih rinci." Cerutu pada bilah tangannya ia letakkan segera agar lebih fokus bercengkrama.

"Jungwon punya alter ego yang dia beri nama Kim Daniel." Akhirnya perkataan yang sedari tadi ia tahan pun telah Sunghoon utarakan.

Guru Choi membelalakkan matanya kaget, dia menatap Sunghoon meminta penjelasan atas perkataannya barusan. "Jangan bilang.." Dia menggantung ucapannya.

"Nama yang membuat kita Déjà vu, ya, Pak Choi? Setelah sekian lama akhirnya kita kembali mendengar namanya walau secara kebetulan." Sunghoon terdenyum tipis, dia mengambil sebuah buku yang ada di atas meja, membalik halaman sesuai dengan yang telah ia tandai dan menunjukkannya pada Guru Choi.

Telah belasan tahun berlalu, namun sepertinya takdir pun urung untuk memisahkan nama itu dari setiap era sihir. Belakangan ini Sunghoon terus memikirkan kejadian demi  kejadian yang terasa ambigu. Belum lagi fakta bahwa Sunghoon pun dialih tugaskan untuk menjaga Jay selama berada dalam akademi ini, semuanya makin terasa berkesinambungan.

Tidak, Sunghoon dan Guru Choi tahu ini tidak benar. Seharusnya bukan seperti ini.

Apalagi barusan, Sunghoon baru saja mendapatkan kiriman surat dari seorang rekan lama yang hidup berkeliaran bebas ke tiap-tiap daerah di luaran sana. Sebelumnya, Sunghoon telah meminta bantuan rekannya agar mencari tau seluk beluk Jay dengan mengutusnya ke rumah yang ditinggali lelaki itu selama ini. Dengan adanya balasan surat, berarti rekannya telah menyelesaikan tugas yang Sunghoon beri.

Sunghoon lagi-lagi menghela nafas gusar. Bukan begini yang dia inginkan. Kemudian, ia kembali membaca ulang untaian paragraf dalam surat yang ditulis dengan pena merah darah. Di dalam sana dikatakan bahwa sebenarnya Jay telah tinggal sendirian sejak umurnya enam tahun, Jay ditinggal orang tuanya sejak lahir kemudian diurus oleh seorang warga setempat kepercayaan sang Ayah— sebelum orang itu meninggal tragis tanpa diketahui keberadaan mayatnya.

Cross the Line ; Enhypen (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang