13. Pena Bercorak Emas

184 35 0
                                    

Tak terasa telah seminggu berlalu sejak evaluasi bulanan tengah malam yang diadakan pihak akademi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak terasa telah seminggu berlalu sejak evaluasi bulanan tengah malam yang diadakan pihak akademi. Seperti apa yang pernah dijelaskan sebelumnya, tidak ada unit khusus kesehatan bagi para murid. Semuanya dituntut agar bisa berkembang dan bertahan selama mungkin dari berbagai serangan. Jadi, para korban yang menderita luka-luka baik ringan maupun berat tak mendapatkan pengobatan apapun. Meski begitu, Sunghoon sebagai orang yang memiliki kekuatan medis dari angkatan ini bersedia membantu para murid yang masih bisa disembuhkan.

Akibat evaluasi bulanan kemarin kira-kira ada empat teman mereka yang tak selamat. Semua orang dalam akademi ini telah berteman akrab dengan kematian, tak heran bila semuanya tak merasa takut bila harus bertarung mempertaruhkan nyawa. Sedari awal dimasukkan ke dalam bangunan penuh kegilaan ini pun sebenarnya mereka telah berpisah dari kata hidup.

"Menurutmu, apa sebenarnya arti dari kehidupan?"

Dua bilah kusen jendela terbuka separuhnya, mengantarkan embusan angin dingin dari malam gulita dan berakhir singgah pada ruangan yang nyaris hampa. Mendengar lontaran pertanyaan dari seorang pemuda yang dari luar sekiranya berumur awal kepala dua, alih-alih langsung menjawab dia malah asyik melihat keluar jendela. Tepat pada untaian langit yang dihiasi bulan sabit dan bintang-bintang gemerlap.

"Jangan jadi seperti dia," jawabnya kelewat santai.

"Wajar kalau dia menanyakan itu, kan?" Mata merahnya sebening permata. Memantulkan bayangan sang lawan bicara. Manik itu tak lepas memperhatikan segala gerakan kecil yang diperbuat orang di hadapannya.

"Ada alasan yang melatarbelakangi perkataanmu barusan?" Jemari panjang beruratnya mengambil sebuah apel merah segar yang tergeletak di atas permukaan meja kaca.

"Alasan lain?." Pemuda bermata merah itu berjalan menuju rak lemari buku tua yang ada sudut ruangan. Ada beberapa buku peninggalan era kerajaan dan buku yang berisikan kumpulan mantra-mantra sihir hitam terlarang.

"Karena seorang monster memang biasanya tidak tahu alasan dan tujuan dari hidupnya sendiri, makanya mereka menanyakan arti hidup pada orang lain sebagai pelampiasan." Hembusan nafasnya sampai terdengar saking sunyinya tempat yang mereka pijak.

"Bukankah dia terlalu ceroboh?"

"Aku juga sebenarnya heran. Sosok yang kita gadang-gadang akan menjadi penghancur orde baru justru bersikap normal layaknya remaja biasa. Meski memang kekuatannya telah menunjukkan potensi, tapi tetap saja masih terlalu lemah. Dia belum bisa melindungi siapapun." Pemuda itu membuka sebuah buku dari rak.

Seulas senyuman penuh arti terpasang apik pada wajah pria yang kini tengah menyandarkan tubuhnya pada dinding kuning mentega di belakangnya sembari mulutnya terus mengunyah apel merah. "Ramalannya akan dimulai sebentar lagi. Kita harus lebih waspada."

"Tentu saja." Si mata merah membalas masih dengan matanya yang fokus pada buku.

Pria yang bersandar pada dinding akhirnya menyelesaikan kunyahan pada apel di tangannya. "Omong-omong, aku penasaran kenapa kau tetap tidak mau berpindah satu lantai dengan dia. Apa karena kau yang belum menunjukkan kekuatan aslimu padanya?" Ia mengalihkan obrolan dengan sangat baik.

Cross the Line ; Enhypen (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang