21. Bunker & Khione

134 30 0
                                    

Berada dalam sebuah bunker yang cukup luas membuat Jay tidak nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berada dalam sebuah bunker yang cukup luas membuat Jay tidak nyaman. Ia sekarang dibaringkan di salah satu ruang kamar peserta didik perempuan akademi ini. Sebenarnya ia tak boleh diganggu karena sedang menjalani proses penyembuhan, tapi entah mengapa beberapa murid terlihat terus berdatangan satu persatu untuk melihat keadaannya. Kadang Jay mendapati beberapa dari mereka sedang mengintip dari balik tirai jendela.

Kalau menurut pengakuan Taehyun, Jay pingsan sejak beberapa jam lalu. Sekarang matahari sudah terbit, hari berganti menjadi awal masalah baru. Jay tak bisa terus-terusan berbaring lemas mengandalkan pengobatan seadanya dari para 'tetua' wanita di tempat ini. Bagaimana keadaan di luar? Apakah teman-temannya baik-baik saja?

Jay ingat jelas pembicaraan yang tak sengaja ia dengar dari balik pintu kamar ini. Obrolan antara Taehyun dan satu orang perempuan yang telah membantu membersihkan sekaligus membalut luka Jay dengan kain bersih.

"Taehyun, jujur. Dia itu manusia atau monster? Tubuhnya bahkan bisa meregenerasi sel sendiri dengan cepat! Luka-lukanya mulai sembuh padahal harusnya membutuhkan waktu beberapa hari."

"Memangnya kenapa? Walaupun dia monster, Jay yang malah akan membebaskan kalian semua. Kau ini, tugasmu hanya merawatnya saja sampai pulih, paham? Jangan ikut campur masalah lain."

Taehyun secara terang-terangan membela Jay. Kalau dipikir-pikir, lelaki itu yang selalu membantu Jay ketika membutuhkan pertolongan. Taehyun bersedia memapah Jay yang kehabisan tenaga, Taehyun membawanya ke tempat persembunyian, Taehyun mengajarinya cara mengendalikan angin, dan Taehyun ... adalah manusia pertama yang memperlakukan Jay sebagai manusia.

"Apa makanannya tidak enak?"

Seorang perempuan yang Jay tebak umurnya mungkin lebih muda terlihat mengamati piring di atas meja dekat ranjang Jay. Piring itu masih penuh dengan makanan khas yang biasa diberikan pada orang sakit. Bubur dan sup jagung.

Jay menggeleng. "Aku belum memakannya. Sulit untuk bangun dan memegang sendok."

Perempuan itu menghela nafas, ia beralih mengambil nampan berisi piring tersebut lalu duduk pada pinggiran ranjang. Ia meletakkan nampan tepat di samping tubuh Jay, lalu lebih dulu menguncir rambut putih panjangnya sebelum mulai menyuapi lelaki itu perlahan.

"Seharusnya mereka mau menyuapimu. Maaf, ya, mereka terlalu takut berlama-lama di kamar ini karena kau laki-laki pertama yang datang dengan keadaan sekarat."

"Tidak apa-apa, reaksi mereka wajar. Mungkin mereka dengar kabar burung soal aku yang dicap iblis oleh anak lelaki lain." Jay berkata singkat.

"Tidak. Apapun alasannya tetap tak bisa membenarkan tindakan mereka, kan? Kau sedang sakit, tak seharusnya mereka mengabaikanmu begini." Ia menatap Jay dalam, satu tangannya terangkat mengusap lengan Jay yang terbalut kain.

"Untung kau tidak mati kelaparan," timpal si perempuan lagi.

Mati karena rasa lapar? Jay sudah sering merasakannya. Lapar itu anugerah. Meski berkali-kali terbelenggu rasa lapar, tapi Jay belum pernah mati karenanya. Kenapa manusia takut lapar? Apa mereka pikir dengan tak makan beberapa hari akan langsung mati?

Cross the Line ; Enhypen (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang