Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
***
00. Prolog
Hujan deras mengguyur bumi malam itu, menciptakan genangan di sepanjang jalan kota. Angin dingin meniup dedaunan, sementara di balik kemudi sebuah mobil, Aldinata, mempercepat laju kendaraannya. Hari itu begitu melelahkan, dan pikirannya dipenuhi urusan pekerjaan yang belum terselesaikan. Ia ingin segera pulang, bertemu keluarganya, terutama putri kesayangannya, Khansa, yang selama ini menjadi penopang jiwanya. Namun, takdir punya rencana lain.
Di persimpangan jalan yang gelap, Habibie baru saja selesai shalat berjamaah di masjid sebuah pondok pesantren. Pemuda yang dikenal baik hati itu melangkah pulang menuju asrama dengan tenang, pikirannya penuh syukur setelah hari yang panjang. Namun, tanpa disadari, dalam hitungan detik, hidupnya akan berubah selamanya.
"Ya Allah!" teriak Aldinata, saat mobilnya menabrak tubuh Habibie yang tiba-tiba melintas di depan. Suara benturan keras diiringi derit ban terdengar nyaring, membuat jantung Aldinata berdegup kencang. Habibie terempas ke jalanan basah, tak bergerak.
Dengan panik, Aldinata keluar dari mobil, wajahnya pucat. "Astaghfirullah, apa yang telah aku lakukan?" tangannya gemetar saat memanggil ambulans, sementara hujan terus mengguyur seolah mengiringi kesedihannya.
Beberapa jam kemudian, di rumah sakit, dokter memberi kabar yang mengguncang hati semua orang. "Habibie mengalami cedera tulang belakang yang serius. InsyaAllah, ia bisa sembuh, tapi untuk sementara waktu, ia tidak bisa berjalan. Pengobatan dan terapi intensif akan sangat diperlukan, dan InsyaAllah ada harapan untuk pulih."
Aldinata merasa beban berat menghimpit dadanya. Ia tak hanya merusak kehidupan pemuda itu, tetapi juga harus menghadapi keluarganya sendiri. Di rumah, Khansa menatap ayahnya dengan penuh tanya.
"Ayah, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Khansa cemas.
Aldinata menghela napas panjang. "Ayah menabrak seorang pemuda tadi malam. Dia sekarang tidak bisa berjalan untuk sementara, dan Ayah merasa sangat bersalah, Khansa. Ayah ingin menebus kesalahan ini."
"Tapi, bagaimana caranya?" tanya Khansa, matanya memancarkan kekhawatiran.
Aldinata memandang putrinya, suaranya bergetar saat ia berbicara. "Ayah ingin menjodohkanmu dengan pemuda itu, Khansa. Ini satu-satunya cara Ayah merasa bisa bertanggung jawab. Ayah sudah memikirkan ini matang-matang. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang Ayah lakukan. Dia pemuda yang baik, meskipun kamu belum mengenalnya. Ayah yakin ini yang terbaik untuk kita semua."
Mata Khansa membelalak kaget. "Apa? dijodohkan? Tapi Ayah, aku bahkan tidak mengenal dia! Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seseorang yang belum pernah aku temui?"
Aldinata menatap putrinya dengan penuh harap. "Ayah paham ini berat untukmu, tapi ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang menebus kesalahan Ayah. Habibie sekarang membutuhkan dukungan, dan Ayah merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menjaga kehormatannya, juga kehormatan kita sebagai keluarga muslim."
Khansa menggelengkan kepala, masih bingung dan menolak ide itu. "Ayah, aku tidak siap. Aku tidak bisa menjalani ini. Aku tidak mencintainya, aku bahkan tidak pernah mengenalnya! Bagaimana jika ini bukan jalan yang tepat untukku?"
Aldinata tersenyum tipis, meski ada kesedihan di matanya. "Jodoh itu rahasia Allah, Khansa. Mungkin sekarang kamu belum mengenalnya, tapi cinta dan kasih sayang bisa tumbuh dengan izin-Nya. Ayah hanya ingin kamu mempertimbangkan ini dengan hati yang tenang. Shalatlah istikharah, minta petunjuk Allah. Jika ini bukan yang terbaik, Ayah tidak akan memaksamu."
Hari-hari berlalu, dan Khansa terus merenungkan permintaan ayahnya. Ia berdoa, meminta petunjuk dari Allah, hatinya penuh dengan keraguan. Hingga suatu malam, setelah berulang kali memohon petunjuk, ia merasa hatinya mulai tenang. Khansa sadar bahwa hidup bukan hanya tentang perasaan pribadi, tetapi juga tentang mengambil tanggung jawab dalam menjalani takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Dengan hati yang perlahan terbuka walau masih sedikit berat, Khansa mendekati ayahnya.
"Ayah," Khansa berbicara pelan namun tegas, "Aku sudah beristikharah. Jika ini jalan yang Allah pilihkan untukku, maka aku siap menerimanya. Aku akan menikah dengan Habibie."
Aldinata menatap putrinya dengan rasa bangga dan haru. "Alhamdulillah, Nak. InsyaAllah, ini akan menjadi jalan kebaikan bagi kita semua."
Dan di rumah sakit, Habibie, yang masih berjuang dengan rasa sakit fisik dan mentalnya, belum mengetahui bahwa hidupnya akan segera berubah. Di tengah ujiannya, Allah telah merencanakan sebuah pertemuan yang tak pernah ia duga, sebuah pernikahan yang bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang tanggung jawab dan kasih sayang yang datang dari tempat yang tidak terduga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
1 | The Cripple Is My Husband (HIATUS)
Spiritual[Cerita ini MURNI dari hasil PEMIKIRAN SAYA, TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN KEHIDUPAN ASLI TOKOH terhadap cerita ini] (Beberapa chapter sudah dihapus/tidak lengkap untuk kepentingan revisi, kemungkinan alur akan diubah) FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM...