13. Ndalem
"Kak, untuk saat ini, Kak Habib jangan terima job buat ngisi ceramah ya? Kita fokus sama terapi kakak dulu," bisik Khansa di tengah malam yang sunyi. Mereka sudah merebahkan diri di atas ranjang kamar ndalem yang dulunya digunakan oleh Habibie saat masih lajang. Menikmati ketenangan setelah hari yang penuh dengan ketegangan.
Habibie terdiam selama beberapa detik, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Helaan napasnya terdengar lembut, seolah menimbang sesuatu yang berat di benaknya. "Sejauh ini, kamu sudah mencintai saya atau belum?" tanyanya tiba-tiba, membuat Khansa terkejut. Suaranya terdengar lembut namun penuh keraguan.
Khansa, yang tidur miring menghadap suaminya, terdiam sejenak. Tatapan matanya bertemu dengan Habibie, mencoba mencari jawaban di balik pertanyaan yang tak diduganya itu. Ia menarik napas panjang, berusaha mengatur emosinya yang tiba-tiba melonjak. "Kenapa tiba-tiba Kak Habib ngomong kayak gitu?" tanyanya, suaranya serak menahan perasaan yang bercampur aduk. Tangan Khansa yang tersembunyi di balik selimut mengepal erat, berusaha tetap tenang.
Habibie menoleh perlahan, matanya menyiratkan rasa tak aman yang jarang ia tunjukkan. "Saya cuma mau memastikan, barangkali semua sikap baik kamu selama ini cuma formalitas. Mungkin, kamu nggak benar-benar mencintai saya, dan cuma kasihan. Semua orang bisa berubah seiring berjalannya waktu, termasuk kamu yang nantinya pasti akan muncul rasa lelah dan berpikir untuk meninggalkan saya."
Mata Khansa memanas mendengar kata-kata itu. Sebuah rasa perih menyusup ke dalam dadanya, tapi ia berusaha tetap tenang. "Kak, gimana mungkin Khansa nggak mencintai Kak Habib?" Khansa menelan perih di tenggorokannya, suaranya mulai bergetar. "Apa yang Khansa lakuin selama ini nggak pernah cuma karena kasihan. Khansa sayang sama Kak Habib, meski mungkin Khansa nggak selalu tunjukin dengan kata-kata."
Habibie terdiam, matanya masih menatap Khansa, mencari kepastian di setiap kata yang diucapkannya. "Tapi kamu punya karier yang sukses, hidup yang bisa lebih mudah tanpa harus merawat saya."
Khansa menggeleng, air mata yang tadi ditahannya jatuh perlahan. "Kak, Khansa nggak butuh hidup yang lebih mudah kalau harus ninggalin orang yang Khansa cintai. Kita menikah buat saling dukung, buat saling menjaga, bukan buat ninggalin saat susah." Suaranya tegas, penuh ketulusan.
Habibie terdiam, merasakan emosi yang membuncah di dadanya. Setelah beberapa saat, ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Maaf, saya cuma takut. Takut kalau saya nggak bisa jadi suami yang baik buat kamu."
Khansa tersenyum di balik air matanya. "Kak, kita jalanin bareng-bareng. Kakak nggak perlu jadi sempurna, yang penting kita ada untuk satu sama lain."
Perkataan Khansa terasa menenangkan, meredakan ketakutan yang menggelayuti pikiran Habibie. Ia menggenggam tangan istrinya, merasakan kehangatan yang selalu ada di sampingnya.
Namun, Khansa malah terdiam. Ia menggigit bibirnya, menahan perasaan yang mendesak di dadanya. "Justru Khansa yang merasa durhaka kepada Kak Habib," ucapnya pelan, suaranya bergetar. "Khansa belum bisa taat, belum bisa jadi istri yang baik buat Kakak selaku suami Khansa."
KAMU SEDANG MEMBACA
1 | The Cripple Is My Husband (HIATUS)
Spiritual[Cerita ini MURNI dari hasil PEMIKIRAN SAYA, TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN KEHIDUPAN ASLI TOKOH terhadap cerita ini] (Beberapa chapter sudah dihapus/tidak lengkap untuk kepentingan revisi, kemungkinan alur akan diubah) FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM...