10. Refleksi Diri
"Bunda, bisa tolong handle butik nggak? Khansa lagi di rumah sakit sekarang, nemenin Kak Habib terapi," ucap Khansa dengan nada yang ia usahakan tetap tenang, meski hatinya bergemuruh oleh kekhawatiran.
"Iya, Bunda langsung berangkat ke butik sekarang," jawab Bunda tanpa ragu, cepat dan penuh pengertian, seakan tahu apa yang sedang Khansa rasakan.
"Makasih banyak, Bun," balas Khansa, lega meski tetap diselimuti beban pikiran. Pikirannya terbagi antara butik yang harus tetap berjalan dan kondisi Habibie yang sedang menjalani proses penyembuhan panjang.
Setelah menutup telepon, Khansa menghela napas panjang. Ia memandang suaminya yang tengah melakukan sesi terapi, dibantu oleh seorang perawat. Habibie berusaha keras untuk menggerakkan tubuhnya yang lumpuh, wajahnya penuh dengan ekspresi tekad meski terlihat lelah. Bahkan beberapa kali, Khansa menyaksikan Habibie terjatuh saat mencoba bangkit berdiri dari kursi rodanya, namun ia selalu berusaha kembali.
Khansa berdiri di depan ruang terapi, menatap melalui kaca besar yang memisahkan mereka. Di sebelahnya, dokter yang menanganinya baru saja selesai memeriksa kondisi suaminya. Dengan sorot mata penuh harap, Khansa mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
"Jadi bagaimana, Dok?" tanyanya hati-hati, takut mendengar sesuatu yang mungkin terlalu berat untuk dicerna.
Dokter itu mengangguk pelan, melihat kembali catatan medis yang ia pegang. "Proses pemulihan suami Anda berjalan cukup cepat, meskipun—" ia berhenti sejenak, memandang Khansa dengan sorot mata serius, "beliau tampaknya terlalu memaksakan diri. Ini berbahaya karena bisa menurunkan fungsi imun tubuhnya. Jika terus seperti ini, ada risiko besar ia jatuh sakit di tengah proses terapi."
Khansa merasa seolah dadanya sesak. Ia tahu betul bahwa Habibie tidak suka terlihat lemah, terutama di hadapannya. Keinginannya untuk pulih cepat membuatnya lupa bahwa pemulihan memerlukan waktu, dan tubuhnya tidak bisa dipaksa.
"Kami akan mencoba untuk memperlambat proses ini sedikit, biar lebih aman. Lebih baik proses yang bertahap dan maksimal hasilnya daripada terburu-buru dan kehilangan segalanya," dokter itu melanjutkan dengan nada bijak.
Khansa menelan ludah, mengangguk setuju meski dalam hatinya penuh kekhawatiran. Ia berusaha keras untuk tetap kuat, tidak ingin menambah beban bagi Habibie yang sudah cukup berat berjuang.
"Terima kasih, Dok. Saya akan bicara dengan suami saya agar dia lebih berhati-hati dan tidak terlalu memaksakan diri," jawab Khansa, meski ia tahu itu tidak akan mudah. Habibie selalu keras kepala, terutama dalam hal ini.
Di dalam ruang terapi, Habibie masih berusaha menggerakkan tubuhnya, meski peluh bercucuran dan wajahnya penuh dengan kelelahan. Namun, di balik itu semua, Khansa bisa melihat keinginan kuat untuk kembali seperti dulu—untuk menjadi suami yang tidak bergantung kepada siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 | The Cripple Is My Husband (HIATUS)
Spiritual[Cerita ini MURNI dari hasil PEMIKIRAN SAYA, TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN KEHIDUPAN ASLI TOKOH terhadap cerita ini] (Beberapa chapter sudah dihapus/tidak lengkap untuk kepentingan revisi, kemungkinan alur akan diubah) FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM...