19. Teman
Masih berbaring santai di atas sofa besar di sudut ruangan, Khansa sesekali memejamkan matanya sembari memijat pelipisnya sendiri yang masih terasa pusing. Hingar-bingar dari luar, di mana para tamu masih asyik menikmati pameran, sesekali terdengar samar-samar. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan kepalanya yang berdenyut.
Habibie yang sedari tadi mengamati istrinya dengan raut khawatir, bergerak mendekat dengan kursi rodanya. "Masih pusing?" tanyanya lembut sambil menyentuh bahu Khansa, memberikan sentuhan yang menenangkan.
Khansa membuka matanya perlahan, menatap suaminya, lalu tersenyum tipis. "Sedikit, Kak. Tapi nggak apa-apa, nanti juga hilang sendiri." Ia beralih memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah sang suami. Perempuan itu tersenyum sembari menyentuh lutut Habibie, "tadi Kak Habib hebat loh, bisa berdiri lama buat pidato," katanya lemah, dengan tatapan bangga.
"Alhamdulillah," jawab Habibie sambil tersenyum, meski ia tak bisa menutupi sedikit kelelahan di wajahnya. Sembari mengusap kepala Khansa, ia melanjutkan, "Tapi jujur, ini sedikit lebih dari yang biasanya bisa saya tahan."
Khansa tertawa pelan menanggapinya, sadar suaminya mungkin merasakan nyeri di kaki akibat terlalu lama berdiri, Khansa beranjak bangkit, duduk ditepi sofa, mengulurkan tangannya pada kaki Habibie yang berusaha ia rapikan posisinya. "Kaki Kak Habib nggak papa kan?" tanyanya penuh perhatian, memastikan suaminya benar-benar dalam kondisi baik.
Habibie tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Saya lebih khawatir sama kamu, Khansa. Kamu baru aja bangun dari pingsan loh. Sekarang malah balik ngurusin saya, udah kamu tiduran lagi aja, katanya masih pusing."
Khansa hanya terkekeh kecil, seolah tak peduli dengan kondisinya sendiri. Ia lalu menarik tangan Habibie, menempelkannya perlahan di pipinya yang dingin, merasakan kenyamanan dari genggaman tangan suaminya. "Tenang aja, Kak. Khansa cuma kecapekan, makanya sempat pingsan. Sekarang udah mendingan."
Habibie tersenyum penuh kasih sayang, mengusap lembut kepala Khansa yang masih terbungkus kain hijab itu dengan tangannya yang lain. Ia tahu istrinya selalu berusaha kuat, meski terkadang melupakan bahwa ia juga butuh waktu untuk beristirahat. "Ya sudah, kalau kamu bilang begitu, saya percaya. Tapi kamu juga janji harus jaga diri, ya? Saya nggak mau lihat kamu memaksakan diri."
Saat pintu ruangan diketuk, Habibie beringsut sedikit menjauh, memberi ruang saat pintu terbuka yang langsung menampakkan sosok Fatina sang sekertaris butik yang mengantar tiga sahabat Khansa-Thania, Naira, dan Aqisha. Wajah-wajah mereka tampak lega namun juga khawatir begitu melihat si empu.
"Kamu udah sadar, Sa?" tanya Thania, perempuan berambut panjang dan bermata sipit itu. Ia langsung berjalan mendekat ke arah Khansa lalu duduk di sebelahnya.
Khansa tersenyum tipis, menyambut hangat perhatian dari sahabat-sahabatnya. "Alhamdulillah udah kok, aman. Cuma kecapekan aja. Makasih banyak ya kalian udah nyempetin datang. Eh, oh iya! kalian kesini sendirian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
1 | The Cripple Is My Husband (HIATUS)
Spiritual[Cerita ini MURNI dari hasil PEMIKIRAN SAYA, TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN KEHIDUPAN ASLI TOKOH terhadap cerita ini] (Beberapa chapter sudah dihapus/tidak lengkap untuk kepentingan revisi, kemungkinan alur akan diubah) FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM...