12

2.6K 167 0
                                    

12

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

12. Pada Suatu Hari

Habibie mencoba menggunakan kakinya untuk berjalan, meskipun langkahnya masih lambat dan tertatih-tatih. Setiap langkah terasa berat, seolah tubuhnya enggan menuruti keinginan untuk bergerak. Namun ia tetap berusaha, berkonsentrasi penuh untuk menyeimbangkan berat badannya. Setiap kali ia merasa hampir terjatuh, tangannya terulur mencari pegangan, tapi semangat untuk terus mencoba tidak padam.

Pagi itu, ia terbangun sendirian, merasa bingung karena Khansa tidak ada di sisinya. Biasanya, Khansa selalu menemaninya, bahkan di pagi-pagi buta. Ia bergerak perlahan, keluar dari kamar sambil memegang dinding untuk menjaga keseimbangan. Dengan napas sedikit tersengal, ia melangkah menuju ruang tamu, berharap menemukan jejak kepergian istrinya. Di sana, ia melihat meja keramik yang sudah tertata rapi, lengkap dengan secangkir teh yang masih mengepul. Namun, Khansa tetap tak tampak di mana pun.

Habibie tersenyum lega saat melihat Khansa muncul dari balik pintu, menenteng sebuah tas kain. "Assalamualaikum," sapanya dengan senyum ceria yang langsung meredakan kekhawatiran Habibie.

"Waalaikumsalam," jawab Habibie. "Kamu habis dari mana sih? Pagi-pagi kok nggak pamit dulu?"

Khansa terkekeh kecil. "Ciee, Kak Habib nyariin ya?" candanya, namun ia bisa melihat jelas kelegaan di wajah suaminya. Habibie hanya tersenyum lemah, seraya mengangguk samar.

"Khansa habis dari rumahnya Pak RT," jelasnya. "Bahas soal rencana pembuatan lapangan serbaguna buat komplek. Nggak lama kok, cuma sebentar, Kak."

"Nih, malah dikasih makanan," ujar Khansa sambil menenteng tas kain tersebut dan menunjukkannya kepada Habibie. "Ayo, Kak, kita sarapan," lanjutnya dengan semangat.

Ia segera beringsut mendekat dan dengan lembut membantu Habibie berjalan pelan menuju dapur. Habibie masih terlihat tertatih, tapi dengan bantuan Khansa, langkah-langkahnya terasa lebih ringan. Setibanya di dapur, Khansa membuka tas kain dan menyiapkan makanan yang diberikan oleh Pak RT.

"Ada lontong sayur sama pisang goreng," katanya sambil menyajikan makanan di meja. Habibie tersenyum hangat. "Alhamdulillah, rezeki pagi ini." Mereka pun menyantap makanan itu dengan lahap, menikmati kehangatan suasana pagi.

Khansa kemudian bertanya dengan nada penasaran, "Kenapa Kak Habib nggak pakai kursi roda tadi?"

Habibie menelan suapannya sebelum menjawab, "saya pengen coba jalan sendiri lagi, meski pelan-pelan. Tadi masih terasa sulit, tapi saya nggak mau terus-terusan bergantung sama kursi roda."

Khansa terdiam sejenak, hatinya bergetar mendengar tekad suaminya. "Tapi Kak, jangan terlalu memaksakan diri ya. Khansa senang kalau Kakak bisa jalan lagi, tapi pelan-pelan aja, jangan sampai kelelahan."

Habibie mengangguk, "Iya, saya tahu. Saya cuma mau berusaha lebih keras." Diam sejenak, laki-laki lumpuh itu kembali berucap. "Oh iya, tadi kamu bahas apaan sama Pak RT? Kita mau ikut kontribusi apa?" tanyanya, sambil menyeruput air putih.

1 | The Cripple Is My Husband (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang