Prolog

64 3 0
                                    

Seluruh tubuh Amara meluruh ketika ia melihat Nalesha—sahabat dan cowok yang ia cintai—menyatakan perasaan di hari dimana moment yang sangat berharga untuknya kepada Aurel—gadis yang berhasil menarik perhatian cowok itu.

Amara menelungkupkan kepalanya di antara kedua lututnya. Suara isakan dan tangis yang sangat menyayat hati seakan ingin memberi tahu kepada dunia bahwa ia sedang patah hati.

"Udah nangisnya. Nggak capek lo jongkok di situ mulu?"

Amara mendongakan kepalanya dan menatap cowok yang berdiri menjulang tepat dihadapannya sambil mengansurkan sapu tangan untuknya. Amara menerima sapu tangan pemberian temannya itu. "Devan..."

"Kayaknya gue emang ditakdirin untuk jadi tempat bersandar buat orang-orang kayak lo." gerutu Devan namun tangannya memegang kedua lengan Amara membantu cewek itu untuk berdiri.

Amara terkekeh ketika mendengar pernyataan dari teman sejurusannya itu. "Pertama, Nanta dan kedua gue?" tanya Amara di sela sesegukannya.

Devan berdecak kesal, "Ke toilet dulu! Benerin dulu riasan lo. Hari ini tuh ulang tahun lo yang ke dua puluh—nggak usah nangisin Azhar dulu."

Amara tidak menjawab ataupun mengatakan sesuatu. Ia hanya mengikuti kemana Devan membawanya. Amara tidak pernah terpikirkan akan putus cinta pada saat hari ulang tahunnya. Tapi, sekali lagi masa depan siapa yang tahu, bukan? Amara menatap cowok di sebelahnya yang tengah menuntun dirinya menuju toilet.

Devan Mahendra—cowok yang sudah mengalam cinta bertepuk sebelah tangannya dengan sahabatnya dan hampir gila karena mencari keberadaan dimana sahabatnya berada. Amara tidak tahu pasti cerita lengkapnya, tapi Amara kenal siapa saja yang terlibat di dalamnnya.

"Amara Syahputri Raharja! Lo denger gue nggak sih?"

Amara menyengir lalu mengambil tasnya yang ternyata sudah diambilkan oleh Devan ketika ia tersadar dari pemikirannya. "Iya, maaf Devan. Lo jangan marah-marah mulu nanti cepet tua!" ucap Amara lalu setelah itu ia langsung pergi sebelum kena amukan Devan yang sudah seperti perempuan datang bulan.

Amara mengapus seluruh riasan pada wajahnya dengan kesal dan meringis ketika melihat wajahnya yang sudah tidak berbentuk. "Sayang banget gue sewa jasa MUA kalau jadi kayak gini!" gerutu Amara ketika kini mukanya sudah bersih tanpa riasan.

Amara segera mencuci muka untuk menyegarkan dirinya dan menyadarkan dirinya dari kebodohan yang baru saja ia lakukan. Nalesha tidak mempunyai pengaruh yang sebesar itu.

Nalesha hanya sahabatnya. Ya. Nalesha Azhar Tarendra hanya sahabat untuknya. Amara menyakini itu dalam hatinya dan ia tanam di otaknya yang cerdas itu bahwa ia akan membuang rasa sukanya pada Nalesha dan tidak akan pernah jatuh cinta lagi—jatuh ke pesona seorang Nalesha—cowok yang sangat ingin ia jauhi namun hal itu akan membuat dirinya menjadi cewek lemah.

Amara kuat dan mandiri. Amara tidak butuh cowok. Amara hanya butuh dukungan dari teman dan keluarganya. Ya, Amara Syahputri yang berhasil membangun perusahaan penerbitan walau baru perusahaan kecil namun hanya dengan itu bisa membuktikan bahwa Amara bisa hidup sendiri dan mandiri.

Tapi, bukankah tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan? Amara tidak pernah tahu apa yang akan takdir berikan kepadanya. Semesta yang selalu memberikan kejutan demi kejutan. Harapan yang mungkin sudah tidak diharapkan namun baru dikabuli kemudian hari?

Ini baru permulaan sebuah perjalanan hidup yang penuh akan misteri. Entah bencana atau sebuah keajaiban anugrah yang datang ke depannya. Kita hanya dapat berdoa dan berharap bahwa apapun yang akan kita temukan di depan sana tidak membuat kita patah semangat.

Amara menatap dirinya di pantulan cermin toilet saat ini. saat ini Amara hanya memakai riasan tipis yang biasa ia pakai kalau sedang menghadiri suatu undangan—tidak seperti tadi yang tampak menujukan bahwa ia yang mempunyai acara saat ini.

Amara keluar dan menghampiri Devan yang masih setia menunggunya sedang berdiri dan memainkan ponsel di tangannya. "Van!"

Devan menatap Amara dari atas sampai bawah lalu menganggukan kepalanya. "Setidaknya lo nggak semenyedihkan tadi," ucap Devan sinis.

Amara mendengus, "Sialan lo!"

"Oh, she's back. Kalau lo udah bisa ngomong kasar berarti lo udah baik-baik saja." Setelah mengatakan itu Devan segera berjalan menuju hallroom hotel.

Amara menyusul Devan yang kini memperlambat jalannya. Amara tersenyum ini yang ia sukai berteman dengan Devan—cowok itu akan memperlambat langkahnya dengan memperkecil jarak setiap langkahnya. Devan yang tinggi besar tentu berbeda dengan Amara yang tingginya hanya seratus enam puluh centi meter itu.

Amara menggandeng lengan Devan dan menatap Devan. "Van, kalau lo mau gabung jadi penulis di perusahaan gue. Gue yakin perusahaan gue bakal jadi sehebat Gramedia. Lo mau kan?" bujuk Amara sambil menggoyangkan lengan Devan.

Devan masih menatap jalan di depan mereka tidak mempedulikan ocehan cewek yang tengah bergelayut di lengannya. "Thanks. Gue udah nyaman sama penerbit gue sekarang."

Amara yang mendengar jawaban datar Devan hanya mendengus lalu membetulkan posisi badannya sebelum memasuki ruangan yang sangat ingin ia hancurkan saat ini.

Le Monde est à NousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang