Delapan

4 0 0
                                    

      "Lun, bisa kirim file yang dikirim Mas Januar nggak ya? Mumpung aku lagi meeting sama Galih nih ngomongin punyanya Mbak Kartika—biar sekalian."

      "Oke, Mbak. Nanti saya kirim file-nya."

      "Thank you," kata Amara sebelum mematikan sambungan tersebut.

      Amara menyisir rambutnya lalu menghela napasnya dan fokus lagi menatap layar laptop milik Galih yang sedang kembali menjelaskan cover buku yang akan terbit. "Ini coba nanti lo obrolin lagi deh sama Mbak Kartika visual kucing yang dia mau dan cover ini sudah sesuai dengan maunya belum. Soalnya Mbak Kartika kemarin cuman bilang dia harus approved dulu sebelum naik cetak."

      Amara meminum kopinya seteguk, "Soalnya buku kali ini, tuh, berarti buatnya. Ini aja gue yang pegang jadi editornya, Gal. Mbak Kartika nggak mau di pegang sama yang lain," kata Amara, kembali membawa rambutnya ke belakang telinga.

      Galih menganggukan kepalanya mengerti, "Gue paham, Mbak. Nanti gue langsung hubungi Mbak Kartika aja yak—gue anggap lo udah approved, nih, yah."

       Galih membuka layar baru yang kembali menampilkan cover buku yang lain. "Ini punya Mas Januar, kemarin dia bilang kalau warnanya belum sesuai dengan bayangan dia. Terus dia minta gue hubungi lo katanya dia butuh pendapat lo. lo lihat, nih, ya Mbak. Dia mau ini ungunya tuh kayak begini, tapi masih saja revisi."

      "Waduh! Gue belum lihat lagi. buat punya Mas Januar kita hold dulu deh. Ini kayaknya kerjaan gue makin banyak saja ya tuhanku. Coba nanti gue ngomong dulu ya sama Mas Januar dia maunya kayak gimana—file ini lo kirim ke gue deh, Gal. nanti gue sekalian diskusi sama Audrey editornya."

       Setelah berdikusi panjang lebar, akhirnya Amara dapat bernapas lega. Amara menguncir rambutnya jadi satu, kemudia mencari rokoknya di dalam tas. Galih menatap Amara menggoda, "Ganti lagi, Mbak, rokoknya?" tanya Galih.

       Amara menganggukan kepalanya, kemudian menyalakan rokoknya. Menghisap zat-zat berbahaya itu dalam lalu menghembuskan asapnya ke atas. Amara memberikan rokoknya kepada Galih ketika lelaki itu meminta untuk mencobainya.

       Amara membuka tutup kopinya, lalu mencari botol gin yang dibawanya kemana-mana. Amara menuangkan sedikit gin ke dalam kopinya dan mengaduknya. Galih hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat kelakuan bosnya itu. "Masih siang, Mbak, nggak bisa banget lo jauh dari alkohol."

      Amara menghendikan bahunya, "Stress gue. Urusan Mbak Kartika aja udah bikin kerjaan gue nambah, eh Mas Januar ikut-ikutan—makin stress gue."

       Amara kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara banyak-banyak. Amara menaikan sebelah alisnya ketika muka Galih berubah menjadi panik dan menatapnya lalu ke belakangnya bergantian.

     Amara menoleh ke belakang, kemudian matanya bertemu dengan mata seseorang yang melahirkannya itu. Dengan cepat Amara menjatuhkan rokoknya lalu menginjaknya—mematikannya ketika wanita yang melahirkannya melangkah menghampiri dirinya.

     Amara berdiri lalu tersenyum menghampiri Ibunya yang datang bersama Bundanya Nales—Saras—dan Keponakannya—Kamala. Amara menyalimi kedua wanita tersebut dan mencubit pipi Kamala gemas.

     "Ibu kok bisa di sini?" tanya Amara kepada Ibunya—Dayana.

      Dayana menatap anak perempuannya lalu menatap cucunya yang kini tengah merengek meminta gendong kepada anak perempuan nakalnya itu. Amara tersenyum bersalah segera berlalu menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan menyikat giginya.

     Amara menghampiri Galih terlebih dahulu untuk mengambil tasnya, "Gal, lo kalau mau balik, balik saja nggak apa-apa duluan. Gue masih ada urusan di sini." Tanpa menunggu jawaban Galih, Amara meninggalkan Galih membawa tasnya ke arah kamar mandi.

Le Monde est à NousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang