Prolog

177 4 0
                                    

Seorang gadis tengah terbaring dengan kondisi yang cukup kritis. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka, baik luka gores ataupun luka akibat pukulan bahkan kaki dan tangannya di gips akibat adanya keretakan. Setelah beberapa jam kemudian, akhirnya ia sadar dari tidurnya yang sudah hampir 6 jam. Ia terbangun dengan wajah yang masih di perban dan mata yang membengkak akibat tangisannya.

"Nya, kamu sudah sadar? Kamu ingat aku kan nya?" Tanya sahabatnya, Miren. Nya, adalah Lavanya, seorang gadis yang baru saja berumur 25 tahun harus mendapatkan banyak luka di usia mudanya.  Luka itu terus membekas pada dirinya, meskipun sempat hilang, nyatanya Lavanya mungkin memang di takdirkan terluka, baik terhadap orang yang membencinya ataupun yang mencintainya. Lavanya hanya tersenyum tatkala ia melihat sahabatnya di sampingnya. Sesekali ia memutari pandangannya mencari seseorang, namun naas, orang itu tidak ada dan tidak akan pernah ada untuknya.

"Vanya... Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Jayden, sahabat lelakinya.

"Penjahat itu kembali Jay. Aku kembali bertemu dengannya setelah menikah. Dia mengancamku akan menyakiti Gavin."

"Ck Nya! Kamu mementingkan pria brengsek itu? Sedangkan dia tidak memperdulikanmu begitu? Kenapa selama ini kamu berbohong padaku Nya. Kamu selalu bilang bahwa dia pria yang baik, perhatian, penyayang. Tapi apa? Lihat kamu sekarang??? Apa itu cinta Nya?" Vanya hanya terdiam saat Jayden mencercanya dengan semua fakta yang ia ketahui.

"Tidak ada orang yang tidak membenci orang yang sudah membuat keluarganya hancur bahkan tiada." Jelas Vanya dengan senyum kecutnya.

"Karena orang tua Gavin yang tiada karena James?" Damn! Ucapan Jayden membuat Vanyan melongo dan menatapnya tajam.

”Dari mana kamu tahu itu Jay??"

"Maaf Nya, sebenarnya aku mencari tahu tentang Gavin setelah aku tahu dia menikahimu karena ingin sesuatu darimu. Mungkin aku tidak sehebat Gavin. Tapi aku berhasil mengetahuinya dengan menyewa seseorang untuk mencari tahu. Tapi Nya, bagaimanapun, itu bukan kesalahanmu. Itu adalah kesalahan si brengsek itu. Kamu dan ibumu juga korban Nya! Seharusnya kamu memberitahu kami agar kami juga bisa melindungimu." Vanya hanya mampu menggelengkan pelan. Ia menatap kedua sahabatnya dengan sendu sembari merasa bersalah.

"Maaf. Tapi selama ini, setelah ibuku tiada, kaliañ sudah sangat menjagaku. Aku tidak ingin membebani kalian." Vanya terus mengucap kata maaf pada kedua sahabatnya itu. Sedangkan keduanya hanya bisa menahan emosinya karena bagaimanapun juga semuanya sudah terlambat. Meskipun begitu, keduanya masih belum lega karena si brengsek itu masih berkeliaran di luar sana. Entah bagaimana kondisinya, terakhir kali ia sempat tertembak oleh polisi namun ia berhasil meloloskan diri.

Vanya pun masih terbaring di ranjangnya. Sedangkan kedua sahabatnya masih keluar karena mereka masih ada urusan pekerjaan yang belum selesai, mereka akan kembali menjelang sore nanti. Vanya pun merasa bosan, ia melihat ke araj jendela di mana ia dapat melihat beberapa orang tengah berada di taman rumah sakit. Apalagi sore itu cuacanya cerah dengan awan yang berwarna senja.

"Sus, apa saya boleh keluar? Saya ingin ke taman sana sebentar saja."

"Tidak bisa Bu, Anda belum pulih benar."

"Sebentar saja Sus. Saya hanya duduk di kursi roda sembari melihat sunset saja." Akhirnya Suster mengiyakan dan mengantarnya ke taman tersebut. Sesampainya di sana Lavanya menatap sekeliling rumah sakit yang mana meskipun di rumah sakit, banyak orang tetap bersama keluarga mereka. Berkumpul saling menjaga dan merawat satu sama lain. Berbeda dengan dirinya yang sendirian dan mengenaskan. Sesekali air matanya berhasil lolos dan jatuh membasahi pipinya.

"Apa aku bisa seperti mereka? Memiliki keluarga yang utuh dan hangat. Saling berbagi kasih dan saling menjaga satu sama lain. Meskipun mereka sedang sakit, keluarganya tetap ada untuknya." Cibirnya sendiri. Vanya menatap ke arah langit yang mulai menampakkan senjanya.

Luka Lavanya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang