Lavanya masih meringkuk di kamarnya. Ingatannya masih bergelayut dengan semua ucapan yang dilontarkan oleh Gavin kepadanya. Serendah itukah dirinya di mata Gavin suaminya sendiri? Bagaimana caranya agar pria itu tahu, bahwa semua yang dikatakannya tidaklah benar. Sampai kapan pula ia harus berjuang sendirian. Akankah ia bertahan atau menyerah? Jika ia menyerah, kemana kah ia harus pergi? Ia tidak ingin kembali merepotkan sahabatnya. Jika ia pergi, tidak ada pula tempat berlindung untuknya. Ia pasti juga akan lebih sering mendapatkan ancaman dari James. Bagaimana pun ia harus melindungi Gavin dari James. Itulah yang harus dia lakukan.
Keesokan harinya, ia tidak mendapati Gavin di rumah. Wanita ular itu juga tidak ada di sini. Entah kemana keduanya pergi. Namun Lavanya tidak menggubrisnya karena ia akan kembali mengunjungi Laura. Ia ingin memastikan bahwa Laura baik-baik saja. Setibanya di rumah Laura, seperti biasa, Lavanya langsung mengecek suhu tubuh Laura.
"Syukurlah demam ibu sudah normal."
"Iya. Bukankah kamu yang membuatkan Ibu air mawar itu? Rasanya dingin dan segar. Terima kasih Lavanya."
"Sama-sama Bu. Yang penting Ibu sehat." Lavanya duduk di samping Laura dan sembari memijat kakinya. Laura menatap Lavanya yang kala itu memakai atasan inner neck dengan balutan cardingan rajut. Rambutnya digerai dengan poni yang juga menutupi sebagian wajahnya. Namun, mata Laura masih sangat jeli, ia kembali melihat sesuatu yang baru di wajah Lavanya.
"Wajahmu terluka lagi?" Lavanya yang menyadarinya langsung menyentuh bagian wajahnya. Padahal tadi ia sempat menutupinya dengan foundation, sepertinya foundationnya tidak bertahan lama.
"Oh ini, kemarin sempat kena cakar kucing Bu." Laura mengernyit dan mendekati wajah Lavanya lalu menyentuhnya.
"Ini seperti bukan cakaran kucing. Tapi seperti terkena kuku?" Seketika Lavanya gugup takut jika Laura akan bertanya lebih banyak kepadanya.
"Bu-Bukan Bu. Sungguh, ini cakaran kucing."
"Lavanya, katakan pada Ibu, apa ada yang menyakitimu lagi?"
"Tidak Bu." Laura memperhatikan Lavanya dan baru menyadari satu hal. Wanita itu menggunakan cincin di jari manisnya. Itu tandanya ia sudah menikah.
"Apa kamu sudah menikah?" Tanya Laura yang kembali membuat mulut Lavanya tercekat untuk menjawabnya.
"Apakah suamimu yang melakukannya? Katakan Lavanya." Laura sedikit mendesak Lavanya untuk menjawabnya.
"Bu, ini urusanku. Aku akan mengurusnya sendiri. Ibu tidak perlu khawatir ya?"
"Bagaimana Ibu tidak khawatir? Ibu lihat tubuhmu penuh bekas luka. Kemarin di lengan, sekarang di wajahmu? Nak, katakan pada Ibu, agar Ibu bisa membantumu." Lavanya menggeleng dan menggenggam erat tangan Laura.
"Percaya padaku ya? Aku akan baik-baik saja. Aku juga akan mengurusnya sendiri. Ibu jangan terlalu khawatir. Aku baik-baik saja. Lihat? Buktinya aku kemari bertemu Ibu. Jadi aku baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Lavanya
RomanceKetika dendam mengalahkan rasa cinta? apakah luka itu akan terobati atau tetap membekas di dalam hati? pada dasarnya, luka adalah luka yang bisa disembuhkan atau masih membekas. mau tau kelanjutannya? harap bersabar ya. cekidot.