Prolog

557 60 3
                                    

-•-•-•- -•-•-•-

"NEIN"

A "BoBoiBoy" fanfiction by kurohimeNoir

Commission for Roux Marlet

Disclaimer: Monsta©

-•-•-•- -•-•-•-

Side note from Roux Marlet:

NEIN dalam bahasa Jerman bermakna denial atau penyangkalan.

Konsep cerita ini diadaptasi dari album berjudul sama dari fantasy band Jepang, Sound Horizon, yang dipromotori oleh Revo yang juga membentuk band Linked Horizon.

Prolog

"Oke, aku sudah masuk ke gang. Terus habis ini ke mana?"

Seorang pemuda berjalan santai sembari berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Dia memasukkan tangan kiri ke saku jaket kulit cokelat tua yang dikenakannya, sementara matanya menatap lurus ke depan. Beberapa meter nyaris buntu, kecuali hanya ada satu belokan ke kanan, yang dia sendiri tidak tahu ke mana arahnya.

"Fang?" pemuda itu kembali berkata kepada lawan bicaranya di telepon. "Ini betul 'kan, di sini jalannya? Kenapa tempatnya terpencil sekali? Beneran ada gunanya kita promo band kita kemari?"

Angin dingin mendadak bertiup sedikit kencang di gang sempit itu, membuat si pemuda agak menggigil. Rambut cokelat pendeknya—tampak sejumput warna putih di sisi kiri depan—pun berkibar dalam satu-dua detik singkat sebelum sang bayu tenang kembali.

"Hm? Jadi sekeluarnya dari gang ini, harusnya ada jalan yang lebih ramai? Hmmm ... Oke—"

Si pemuda menghentikan langkah tiba-tiba. Keningnya berkerut, sementara dirinya menjauhkan sejenak ponselnya dari telinga. Barusan terdengar denging singkat, tidak kencang, tapi tetap saja mengejutkan. Saat mendekatkan ponselnya kembali ke indra pendengaran, sudah tak ada suara denging aneh itu lagi. Namun, suara Fang di seberang sana pun terputus-putus.

"Fang? Halo?"

Gangguan makin parah, hingga suara Fang sudah tak bisa terdengar lagi.

"Sekarang malah kresek-kresek."

Pemuda itu menggerutu sendiri. Decak samar pun terlepas ketika sambungan akhirnya benar-benar terputus.

"Apa, sih? Gangguan sinyal?"

Namun, bar sinyal telepon di kanan atas layar masih tampak penuh seperti biasa. Sekali lagi, pemuda itu mengerutkan kening, dan pada akhirnya hanya bisa mengangkat bahu. Tertangkap oleh matanya yang beriris cokelat madu, jam di layar ponsel sudah makin mendekati pukul lima sore.

Tak mau kemalaman, sang pemuda segera menyimpan ponsel di saku, lantas melanjutkan langkah. Kali ini, kedua tangannya berdiam aman di dalam saku jaket. Entah sejak kapan, udara rasanya makin dingin. Memang, gang ini nyaris tak terjangkau sinar matahari, berkat rumah-rumah di sepanjang gang yang hampir semuanya bertembok tinggi.

Tujuh langkah terakhir, sang pemuda berbelok ke kanan—satu-satunya belokan yang ada. Dadanya berdesir tanpa alasan, ketika yang ditemuinya adalah gang lain yang serupa. Sama sepi dan gelapnya. Pun panjangnya, yang lurus terus hingga beberapa puluh meter. Tak ada pilihan selain terus maju. Nyaris tanpa sadar, sang pemuda mempercepat langkah.

NEINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang