Jia menggelengkan kepalanya, mencoba membuang semua kemungkinan-kemungkinan buruk yang mengganggu pikirannya sejak kemarin.
Dia kembali membaca buku yang sedang ia pegang itu, tetapi tidak membantu, dia tetap gelisah. Ditambah lagi ia menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya, dari yang belakangan ini ia sering mual sampai sesekali ia sangat menginginkan makanan tertentu.
"Baik bapak akhiri pembelajaran hari ini, jangan lupa halaman 45 sampai 47 itu buat PR, minggu depan bapak cek satu persatu," ujar Pak Andi saat bell pulang sudah berbunyi.
"Baik pak," jawab semuanya serentak.
Jia buru-buru memasukan buku-bukunya kedalam tas, sedikit merapihkan rambutnya sebelum akhirnya keluar kelas.
"Gue beneran mau belajar sungguh-sungguh deh kali ini, masa tadi ngga ada yang gue ngerti anjir," ucap Alyna yang dibalas ekspresi meremehkan dari Bella.
"Ngga yakin gue," cibir Bella.
"Kali ini gue seriuss sumpah, gue mau ngejar kampus impian." Alyna tersenyum, membayangkan dirinya memakai jas almamater impiannya.
"Gue duluan ya," pamit Jia saat matanya menangkap sosok Haidan didepan sana, dia berjalan cepat meninggalkan dua temannya yang bahkan belum merespon ucapannya itu.
"Mau mampir ke mie ayam dulu?" tanya Haidan sambil mengulurkan helmnya kepada Jia.
Jia menggeleng. "Mampir ke apotek aja sebentar."
Haidan mengerutkan keningnya heran. "Kamu sakit?" tanyanya.
"Agak pusing doang dikit,"
"Ke dokter aja ya?"
Jia menggeleng kemudian menaiki motor Haidan. "Ngga usah, minum obat juga sembuh ko."
Haidan menuruti ucapan Jia, dia mengantar Jia ke apotek dahulu sebelum akhirnya sampai ke rumah.
Haidan merapihkan rambut Jia yang sedikit berantakan karena helm itu. "Diminum obatnya terus istirahat, kalo ada apa-apa langsung telfon aku."
Jia tersenyum. "Makasih, kamu hati-hati, jangan ngebut. Kabarin kalo udah sampe rumah."
Haidan melajukan motornya, meninggalkan Jia yang masih berdiri di depan gerbangnya.
Jia masuk setelah punggung kekasihnya sudah menghilang dari penglihatannya, buru-buru dia mengambil testpack yang tadi ia beli kemudian ke kamar mandi untuk mencobanya.
Dadanya berdegup kencang, jujur dia sangat takut sekarang, matanya memanas saat melihat dua garis yang muncul di testpack.
Kakinya lemas, Jia terduduk sambil menangis.
"Nggak ini pasti salah," dia kembali berdiri, mengambil dua testpack lagi dengan merk yang berbeda kemudian mencobanya.
Tetapi tetap sama, dua garis yang muncul. Tangisnya semakin pecah, ia bingung harus bagaimana sekarang.
___
"Aku masih ngga enak badan," ucap Jia menjawab pertanyaan diseberang telfon sana.
"Pulang sekolah aku anter ke dokter ya?"
"Ngga usah, bentar lagi juga sembuh."
"Udah tiga hari Jia kamu ngga masuk sekolah gara-gara sakit, gamau tau kalo besok masih ngga enak badan aku bawa kamu ke dokter," ujar Haidan.
"Iya-iya."
"Yaudah sarapa dulu terus istirahat, aku mau masuk kelas nih. Pulang sekolah nanti aku mampir,"
"Ngga usah, aku kayakya bakalan tidur ampe sore." Jia berusaha menolak sehalus mungkin.
"Aku kange-"
"Aku mau sarapan, aku matiin ya," Jia mematikan sambungan itu sepihak.
Sudah tiga hari Jia mengurung diri di kamar, enggan untuk bertemu siapapun bahkan dia tidak menyentuh nasi sedikitpun.
Oke sepertinya kali ini Jia sudah tidak sanggup, dia akhirnya turun, berjalan kearah dapur mencari apapun yang ada didalam kulkasnya.
"Ngga sekolah kamu?" tanya wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Jia menoleh sebentar kemudian kembali fokus mencari buah atau apapun yang bisa ia makan.
"Kenapa ngga sekolah?" tanyanya lagi.
"Males," jawab Jia, dia mengambil dua buah apel lalu berjalan lagi berniat kembali ke kamarnya.
Wanita itu hanya mengangguk membuat Jia tersenyum miris, ibunya tidak akan peduli apapun yang dia lakukan.
"Oh iya minggu ini mama ngga pulang ada tugas keluar kota, uang bulanan udah mama transfer," ucapnya membuat kaki Jia berhenti melangkah.
Jia menoleh, "bisa tambahin dikit ngga? Aku mau beli buku," bohong Jia.
"Oke nanti mama transfer lagi," jawab wanita itu.
Mendengar jawaban ibunya, Jia kembali melangkah ke kamarnya sambil mengunyah apel ditangannya itu.
Pikirannya masih kacau, dia masih tidak tau harus bagaimana. Apakah dia harus menyingkirkan janinnya, atau mempertahankannya?
Tentu saja dia harus memberitahu Haidan dahulu, namun kenyataannya dia terlalu takut untuk itu. Takut jika setelah Haidan tau dia akan meninggalkannya begitu saja.
Jia membaringkan badanya setelah menghabiskan dua buah apel tadi. Dia menyibakan bajunya hingga menampilkan perutnya yang masih rata itu.
Dielusnya perlahan, dia masih tidak menyangka ada nyawa lain didalam tubuhnya. Perasaan bersalah mulai menyelimutinya, karena tiga hari ini dia dengan sengaja mencoba dan berharap janinnya itu kenapa-napa.
"Maafin aku ya, kamu pasti laper banget," ucap Jia masih sambil mengelus perutnya.
✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake? || Haruto Watanabe
Fanfiction"Aku hamil." Dua kata yang sangat sulit Jia katakan itu akhirnya keluar juga dari mulutnya, membuat lelaki dihadapannya diam mematung. "Haidan, aku hamil," ulangnya lagi. "Kamu yakin? Udah cek?" tanya Haidan berusaha untuk setenang mungkin. Jia meng...