As

11 2 0
                                    

Karya ini hanya dipublikasikan di Wattpad dan di akun ini. Apabila kamu menemukannya di platform lain ataupun di akun lain, itu bukan saya.

***

Begitu malam berakhir, Merida terpaksa kembali ke kastil utama Pavan. Meskipun hasil penyelidikan tak menemukan apa pun malam itu, dia tetap tak bisa mengulur waktu di sana.

Hingga tanpa terasa, waktu satu minggu akhirnya berlalu begitu cepat. Hari yang membuat Merida kembali lebih cepat pun datang. Meskipun begitu, persiapan untuk menyambut tamunya belum dimulai. Kata Mai, mereka baru datang di waktu sore.

“Hei, Merida,” ucap seorang pria yang kelakuannya masih terlihat sejak pertemuan pertama.

Merida yang fokus membaca sebuah buku sembari menikmati teh yang disajikan akhirnya merasa terganggu. Dia lantas meletakkan cangkir tehnya dan menurunkan buku di tangan. Kemudian menoleh ke arah jendela, tempat seorang pria yang tengah duduk di atas kusen jendela.

“Sepertinya Kak Varuna punya waktu lebih banyak daripada Kak Reivant, ya?” tanya Merida yang menunjukkan ekspresi malas. Padahal Reivant saja tidak sesering ini mengunjunginya.

Terlihat Varuna yang menghela napas. Dia juga menyesap tembakau yang sedari awal memang dibawa. “Dia kan, keturunan Pendeta Tingkat Tinggi. Makanya selalu ke kuil.”

Ah, Merida lupa dengan fakta kakak tertuanya memiliki kekuatan suci. Pantas saja Reivant bisa keluar masuk kuil tanpa hambatan. Sayang sekali dia terlambat menyadari garis keturunan kakak tertuanya. Meskipun menyadarinya lebih cepat pun, sangat tidak mungkin membuat sebuah kuil berhutang padanya. Salah-salah, malah menjadi konflik. Apalagi kekuatan suci memiliki karakteristik 'memurnikan', bukannya 'mengeluarkan' seperti kekuatan spiritual.

“Ngomong-ngomong, Merida,” ucap Varuna.

Seketika Merida tersadar dari lamunannya. Kini dia hanya memerhatikan Varuna yang kembali asik menghisap tembakau. Hingga beberapa saat kemudian, Varuna kembali berkata, “Kenapa kamu tidak menolak pertunangannya? Sejujurnya, dia menikahimu hanya untuk menjadikanmu sandera. Itu kata ‘telinga' kita di sana.” Terlihat ekspresi sedih dari wajah Varuna, meskipun sedikit samar.

Ternyata Kak Varuna lebih mudah untuk membocorkan rahasia, baguslah, batin Merida. Dia tersenyum dengan lembut, seakan benar-benar percaya apa yang dikatakan sang Kakak. “Saya kan, perempuan.”

Varuna yang mendapat respon seperti itu seketika menghela napas. “Sepertinya memang sia-sia aku memperingati. Sudahlah, aku pergi dulu.” Setelahnya Varuna bergerak keluar jendela. Meninggalkan aroma tembakau yang amat pekat di ruangan tersebut.

Mengetahui sang Kakak benar-benar pergi, senyum Merida kian menghilang hingga tak lagi menampakkan senyuman. Setelahnya dia kembali fokus membaca buku yang tengah dipegangnya.

Setelah sedikit berbincang dengan Varuna, hati Merida terasa lebih baik. Mungkin karena akhirnya dia mengetahui di mana dua kakaknya itu bersembunyi selama ini. Sekarang aku harus meletakkan diriku sebagai apa, ya? batin Merida. Dari sisi kedua kakaknya, dia terlihat seperti sandera. Dari sisi calon tunangannya, dia terlihat seperti orang yang harus dilindungi.

•••

Waktu ternyata berjalan dengan cepat. Tahu-tahu, rombongan Grand Duke Kori sudah tiba di kediamannya. Kini bahkan mereka duduk berhadapan di ruang tamu kedua, ruang khusus para tamu penting.

Dari mata Merida yang duduk di samping ayahnya, terlihat sang Grand Duke yang duduk di hadapannya dengan seorang kesatria yang sepertinya komandan pasukan tengah berdiri di belakang sang Grand Duke. Begitu menyadari sang Grand Duke juga membalas tatapannya, gadis itu lantas tersenyum kecil.

Persona [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang