Karya ini hanya dipublikasikan di Wattpad dan di akun ini. Apabila kamu menemukannya di platform lain ataupun di akun lain, itu bukan saya.
***
Pertunangan yang sangat sederhana memang sudah usai. Namun hari-hari Merida masih tetap sama. Tugasnya sebagai penguasa sementara, membuat Merida kabur dari kelas yang seharusnya diikuti gadis-gadis bangsawan sejak kecil.
Hari ini pun juga sama. Dibanding mengikuti kelas, dia malah asik membaca kertas laporan yang dikirimkan para pengurus administrasi di wilayahnya.
“Kamu mengusir Countess Kenna lagi?” tanya Reivant yang kebetulan mampir ke kamar Merida.
Merida lantas mengalihkan tatapan dari lembaran-lembaran kertas menjadi pria yang duduk di hadapannya. “Jika saya di sini, memangnya siapa yang akan menyambut Countess Kenna nanti? Saya juga sudah mengirim surat untuk mengundur jadwalnya kok.”
“Merida, selain merupakan kerabat Grand Duke Kori, dia juga orang yang aktif di kubu Putra Mahkota, lho.” Begitu selesai mengucapkannya, Reivant terdiam. Dia menutup bukunya dibarengi dengan memalingkan mata ke kiri. “Tidak, lupakan.”
“Sepertinya Kakak tidak suka ada yang mengusik rahasia Kakak, ya?” tanya Merida.
Reivant kembali mangarahkan tatapan pada Merida. “Entahlah, aku pergi dulu,” jawab Reivant sembari berdiri.
“Kakak tidak meminum tehnya dulu?” Merida menatap ke arah cangkir teh di depan Reivant. Sejak tadi cangkir itu sudah berdiri di hadapan Reivant, tapi sampai isi di dalamnya dingin pun, Reivant tak menyentuhnya sama sekali.
Reivant yang baru berdiri itu kembali menatap cangkirnya. Kemudian mengarahkan tatapan pada adik perempuannya. “Memangnya aku mau meminum teh chamomile yang kental? Itu bukan seleraku,” ucap Reivant dengan dingin. Setelahnya dia melangkah menjauhi Merida.
Merida lantas tersenyum lebar hingga membuat matanya terlihat menyipit. Begitu terdengar suara pintu yang ditutup, seketika dia menghilangkan senyum tersebut. Kemudian Merida menoleh dan menatap pintu yang tertutup dengan tatapan datar.
Tentu saja, chamomile kental kan, membuat sakit, batin Merida. Gadis itu kembali melirik ke meja yang di atasnya terdapat satu set alat minum. Dia mengarahkan sesuatu berwarna hitam untuk menyelimuti dua cangkir teh tersebut. Lantas beberapa detik kemudian, kedua cangkir itu pecah seketika. Membuat teh yang masih penuh itu tercecer ke segala arah. Bahkan sampai menetes ke sebagian kertas yang akan dibaca gadis itu.
“Anda baik-baik saja? Maaf, saya langsung masuk setelah mendengar suara benda pecah,” ucap seorang wanita yang masuk tanpa mengetuk pintu. Wanita itu menyadari genangan air di atas meja. Sontak tangannya terarah 'tuk menutup mulutnya. “Astaga, bagaimana bisa Anda tidak memanggil saya saat gelasnya pecah?”
Merida melirik sebentar ke arah wanita yang baru masuk itu. Setelahnya dia mengambil kumpulan kertas yang tak terkena air dan membacanya. “Sekarang kamu sudah di sini, Mai.”
Tampak Mai yang menghela napas. “Akan saya bersihkan bekasnya lebih dulu.” Dia mendekati meja tersebut. Mengambil pecahan gelas satu per satu dengan hati-hati.
“Padahal sudah bukan tugasmu,” ucap Merida yang tetap fokus membaca kertasnya.
Terdengar tawa lirih dari seorang Mai. “Meskipun begitu, izinkan saya tetap berada di belakang Anda.” Dia tetap melanjutkan kegiatannya dalam senyap. Hingga beberapa saat kemudian, wanita itu tersadar akan tujuannya. “Ngomong-ngomong, Lady. Tuan Putri Pertama mengirimkan undangan pesta ulang tahun pada ‘Countess Carrat’ saat ini.”
“Kapan?” tanya Merida.
“Besok malam.” Mai tampak mengambil sebuah sapu tangan dari seorang pelayan yang dipanggilnya. Setelahnya dia asik membersihkan genangan teh di atas meja. “Kabarnya Tuan Putri Pertama juga membuka ‘House of Nobles' untuk pesta ini.”
“House of Nobles, ya,” gumam Merida. Tanpa sengaja matanya melihat sebuah kalimat di atas kertas yang tengah digenggam. Sesaat kemudian, senyum tipis terbit di wajah Merida. Tuan Putri Pertama kan, pendukung Putra Mahkota dari belakang, batin Merida.
Hampir semua bangsawan memiliki altar. Namun kebanyakan adalah para pendukung Putra Mahkota. Hanya saja sampai saat ini tidak diketahui apa fungsi altar dan siapa pencetusnya.
•••
Seluruh pelayan rumahnya seketika berdebat siapa yang akan bersama Merida. Namun pada akhirnya, Merida datang ke tempat ini bersama sang Ayah. Hal itu sontak membuatnya terlihat seperti Duchess Muda dibanding calon Grand Duchess.
Di tempat pesta ini, Merida merasa semuanya terlihat sama. Termasuk kasta atas sepertinya dengan kasta menengah yang sengaja dipisahkan, meskipun dia masih dapat melihat apa saja yang dilakukan kasta menengah di lantai bawah.
Di sela-sela menikmati minuman yang disuguhkan, mata Merida menangkap sekumpulan bangsawan pria yang entah sedang mendiskusikan apa. Hanya saja, dengan melihat ekspresi mereka, sepertinya Merida dapat menebak apa hal yang mereka permasalahkan.
Dengan senyum tipis, dia mendekati sekumpulan bangsawan itu. “Halo, Tuan-tuan. Sepertinya kalian sedang mengalami masalah, ya?” tanya Merida begitu jarak mereka sudah dekat.
Sontak para pria itu langsung menatap ke arah Merida. “Ah, Lady. Bukan masalah besar,” ucap salah satunya berdiri paling dekat dengan Merida.
Merida lantas memiringkan kepala sedikit. “Benarkah? Bukankah kalian semua kesulitan menutupi kerugian karena banyak bawahan kalian yang tiba-tiba dibunuh?” Dengan terpaksa dia memanfaatkan informasi yang dikumpulkan beberapa hari terakhir, padahal dia ingin melakukannya dengan natural.
Para pria itu seketika tersentak dan sangat terlihat jika sedang canggung. Akhirnya salah satu dari mereka yang kebetulan berhadapan dengan Merida, berdeham. “Sebenarnya kerugian kami lebih karena serikat perdagangan yang menolak bahan mentah kurang berkualitas. Yah, mungkin karena para bawahan baru yang belum beradaptasi,” ucap pria yang sempat berdeham itu.
“Jika mereka dibiarkan, bukankah Anda sendiri yang bangkrut, Marquez Nefeli? Apalagi wilayah kekuasaan Anda ada di perbatasan,” sahut pria lainnya yang sejak tadi hanya menikmati minumannya.
“Itu benar.” Merida lantas menunduk. Dia mengangkat tangan yang tak memegang gelas ke arah dagu dan bersikap seolah-olah tengah berpikir. “Andai saja kita bisa mengolah potensi dari desa dan kota, pasti tidak akan sesulit ini,” lirih Merida.
“Maaf, bisa Anda ulangi apa yang Anda katakan?” tanya pria di hadapan Merida.
Sontak Merida kembali mengangkat kepalanya. Dia menatap pria di hadapannya dengan tatapan polos, seakan tak mengatakan hal besar. “Mengolah potensi desa atau kota?”
“Itu dia! Selama ini saya hanya berfokus pada pajak dan keamanan. Jika di wilayah saya ditemukan potensinya, pasti saya akan mengundang orang yang ahli di ibu kota,” gumam pria di hadapan Merida dengan ekspresi penuh semangat.
“Lady Merida, sepertinya pengetahuan Anda sangat luas, ya? Persis seperti rumor yang beredar.” Pria yang kebetulan di samping Merida akhirnya mengalihkan topik. Mungkin karena hampir semua pria yang berkumpul di sana malah asik memikirkan rencana usaha mereka.
Merida lantas menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih untuk itu. Sebenarnya saya tidak sehebat itu, mungkin karena selama ini saya hanya bergaul dengan laki-laki,” jawab Merida. Dia lantas melirik ke samping, tempat para nona berkumpul tak jauh dari mereka.
Pria itu akhirnya mengikuti arah tatapan Merida. Seketika rasa iba muncul di diri pria itu begitu melihat para nona di sana menatap Merida dengan tatapan benci.
***
Don't forget for vote and comment!
21 Desember 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona [END]
FantasyDia itu malaikat, tapi juga iblis. Itulah Merida. Gadis yang selalu mengikuti segala keinginan kepala keluarga. Namun begitu orang yang diingatnya menghilang telah kembali, segalanya hancur. "Siapa aku?" -------- Start: 1 Desember 2022 Karya ini han...