Jangan lupa vote
Oke ready dibacaDuduk dikursi kerja sang ayah, Naka menunduk. Robi tak henti nya mengomel. Begitupun dengan Tyas.
"Abang udah besar, udah bisa bedain mana yang bener mana yang salah. Udah kelas 12 bang. Harus fokus sama sekolah, ayah malu. Rekan rekan guru dikantor selalu bilangin abang." Robi mengurut pelipis nya lelah.
Tyas mengaguk, "Lagian kenapa Naka bolos? Udah sering loh bang. Ayo dong liat kak Gibran yang lulus SMA dan lanjut Kuliah jalur beasiwa. Jadiin dia motivasi,"
Naka memejam kan mata, kembali menganguk.
Robi menghela nafas, "Kalo kamu sekolah cuman buat masalah, gak usah sekolah sekalian. Mending kerja cari uang."
Naka menatap Robi kaget. "Kenapa?" Robi bertanya. Naka kembali menunduk dan mengeleng.
"Keluar dari ruang kerja ayah!" Ini perintah. Naka menganguk dan keluar dari ruangan ayah nya.
Tyas menatap kepergian Naka penuh harap, dan menatap tajam Robi. "Mas, kalo kamu emang gak bisa cari uang jangan nyuruh anak mas! Anak itu tugas nya sekolah, belajar di sana. Kecuali orang tua nya gak ada. Baru! Dia kerja."
Tangan nya bersedekap dada, "Ini anak salah dikit, diungkit ungkit suruh kerja! Mas itu mikir gak si! Kita ini pernah muda. Pernah ngerasain rasa nya jadi anak, santai dong nyikapin nya."
Robi naik pitam, dia berdiri dan mengebrak meja nya. "Anak kaya Naka apa yang mau dibanggain yas? Kalau pun dia niat sekolah. Dia bakalan belajar yang bener, biar kaya Gibran yang masuk Universitas impian. Harus nya dia mikir, dia udah kelas 12 yas. Stop deh kamu manjain anak itu!"
Tyas menujuk, "Kapan aku manjain Naka, Mas! Kapan?" Nafas nya terdengar memburu. "Aku gak pernah manjain dia!"
Robi berdecak kesal, "Yah! Sudah seharus nya seperti itu, kalau mau bergantung kepada orang tua. Kapan dia mandiri nya."
"Naka banyak kekurangan yas, tingalin aja. Biarin. Kita toleh ke Gibran dan Bunga. Anak kita dua itu sangat membanggakan aku."
Tyas tak habis pikir pada suami nya. Bisa-bisa nya.
"Kalau Naka denger, gak kebayang sesakit hati apa dia denger ayah nya bilang kaya gini."Robi merangkus Tyas, "Udah lah. Mikirin anak itu buat stress, gimana kita vidio call sama Gibran. Aku kangen sama dia."
Tyas menghela nafas, menganguk mengiyakan.
Dibalik pintu kayu bersandar pemuda yang sedang dibicarakan. Atmosfer disana perlahan menjauh. Mendengar kata kata yang tak seharus nya dia dengar. Naka, pemuda itu memukul dada nya, sesak mengisi rongga paru-paru nya.
Dengan cepat dia berlari menuju kamar nya, membuka pintu cepat dan menutup nya kencang. Menjatuhkan diri di tumpukan bantal. Menutup eajah nya dengan bantal.
Air mata merembes, membasahi bantal. Sial kata kata ayah nya membuat nya sakit hati. Kata kata yang nyata nya adalah kebenaran.
Naka kembali duduk. Netra nya menyapu seisi kamar. "Disini banyak mendali sama piala yah, Aku bisa! Aku gak sebodoh yang ayah pikirin."
"Apa basket gak bisa buat ayah bangga? Apa mendali yang aku dapet gak buat ayah puas? Aku harus gimana. Aku ga bisa kaya kak Gibran, aku gak bisa kaya Bunga."

KAMU SEDANG MEMBACA
Arnaka Vahendra
Ficção GeralDunia terlalu keras untuk kamu yang lemah, maka dari itu jadi lah kuat untuk hidup lebih hebat. Sedih hari ini mungkin akan berhenti, tapi bahagia hari itu akan abadi. Cerita baru, Nama nya Naka. Anak aku yang ke 3 yaa.. Aku harap story ini bisa bua...