5. Hukuman

309 33 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen

Disini dia berada, dibawah terik nya matahari dan tiang bendera. Hukuman kali ini berlangsung sampai bell istirahat berbunyi.

Dapat dia pandang, dikoridor kelas 12 Linggar dan juga Ibnu menatap nya dengan banyak nya pertanyaan. Tumben dia telat.

Naka mengedikan bahu nya singkat.

Naka di sekolah bukan lah anak yang teladan, bukan juga anak yang nakal. Dia sama seperti siswa kebanyakan, biasa saja. Muka nya juga kalah jauh dengan muka Ibnu.

Terkadang Naka iri dengan Ibnu dan linggar.

Ibnu yang menjadi anak tunggal, ayah ibu nya sangat perhatian, ditambah ibnu berada dikalangan berada.

Linggar, walaupun dia tinggal dengan ayah tiri. Tapi ayah tiri nya berbeda, ayah linggar memperlakukan linggar layak nya anak kandung, hanya memiliki adik perempuan membuat linggar sama-sama di sayang. Juga linggar berada dikalangan berada.

"Apaan si ga boleh iri," batin nya mengingat kan.

Terik nya matahari membuat kepala nya berkunang kunang, saat bel tiba dia spontan terduduk. Keringat membasahi kening nya. Ibnu dan Linggar menghampiri nya dengan tergopoh-gopoh.

"Minum dulu," Linggar memberikan minum, dan diterima dengan cepat oleh Naka.

Linggar menepuk bahu Naka sinngkat, "Tumben telat, Ka?"  Pernyataan itu diangguki oleh Ibnu.

"Motor nya dibawa Kak Gibran, ayah berangkat bareng Bunga."

"Lah ngapa gak bilang, bisa bonceng tiga kitaa mah.." celetuk Linggar yang langsung di toyor dengan Ibnu.

Mata nya memutar malas, "Dikira terong-terongan apa," ada jeda yang tercipta. "Kalau enggak besok gue bawa mobil aja, lagian mobil nganggur di rumah."  Ide Cemerlang Ibnu patut di pertimbangkan.

"Buseettt ngerii bett omongan orang kayaaaa, iya sipaling wokayyyy." Bercanda, linggar hanya meledek.

Naka nampak termenung, "Gak udah deh, gue mau joging pagi aja. Ribet pake mobil," ada jeda yang tersisa, "Lagian mau parkir dimana? Ga ada parkiran mobil njayy."

Ketiga nya mendengkus kesal.

*

"Ayah tumben pulang cepet, kenapa yah?"

Robi tak menanggapi pertanyaan anak nya. Mata nya sibuk menelisik setiap laci kamar nya. Mencari kartu atm nya.

"Atm ayah kemana ya? Kamu tau Ka?"

Naka mengeleng, "Enggak, mana berani Naka ambil Atm ayah. Terakhir kali ayah taruh mana?."

Robi menghela nafas berat, "Ayah ingat betul kalo tadi pagi taruh di laci sini. Ayah pulang cepet karena mau tarik uang gajia— Gibrannn!"

"Apa yah?"

Roby menelisik bingung, "Kamu tau atm ayah gak? Tadi pagi ayah taruh sini. Sekarang gak tau kemana." tutur nya bingung.

Atmosfer yang memanas menciptakan rasa canggung terhadap keluarga nya. Selimut panas tak kasap mata menyelimuti bak setan yang terkurung.

"Tadi pagi Gibran liat Naka ke kamar ayah si, tapi ga tau ngapain. Mungkin dia lihat?"

Mata nya melotot hampir copot. Itulah ekspresi Naka. Sejak kapan diri nya berani masuk kekamar orang tua nya. Tak pernah sekali pun tanpa terkecuali.

Arnaka VahendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang