⁰⁸

2.2K 228 7
                                    


Mark menatap lurus bagaimana sosok mungil dengan garis wajah yang sama persis seperti renjun itu terlelap.

Gerakan-gerakan kecil disertai nafas teraturnya membuat mark tak bisa menahan kurvanya untuk tak melengkung.

Ya, Mark menemukan kebahagiaannya. Anaknya, putranya telah lahir. Meskipun faktanya bayi mungil yang tengah tertidur di dalam box bayi tersebut bukanlah anak kandungnya. Namun jauh dari dalam hatinya, Mark menyayangi malaikat kecil renjun, yang berarti dia juga menjadi malaikat kecilnya.

Mark akan meminta renjun agar bayi itu memakai marga Jung didepan namanya.

Mark mengalihkan perhatiannya pada renjun yang mulai siuman pasca operasi. Ah, dia bahagia sekali bisa ada di samping renjun saat pemuda itu tengah berjuang untuk membawa anaknya lahir ke dunia.

"Hyung" suaranya melirih, lemas pastinya karena renjun belum makan dari tadi malam.

"Ya" Mark mengulum senyum lalu berjalan mendekat ke arah renjun "jangan bergerak terlalu banyak dulu" ujarnya memperingatkan.

Renjun mengangguk, "aku mau lihat anakku"

"Nanti ya" Mark mengelus rambut hitam renjun yang agak panjang "kau masih harus istirahat, dan baby juga masih tidur. Apa kau mau minum?"

Renjun mengangguk kecil. Mark mengambilkan segelas air putih yang ada di meja kemudian membantunya untuk minum.

Tak lama perawat masuk kedalam kamar untuk mengecek bagaimana keadaan renjun.

"Sudah siuman?" Sang perawat tersenyum ramah, " ah iya tuan, pasien boleh makan setelah satu jam kedepan" katanya.

"Hm, baik. Apa pasien boleh menggendong anaknya, suster?"

"Tentu, mari saya bantu"

Sang perawat menggendong bayi mungil tersebut untuk membawanya ke arah renjun.

Begitu menggemaskan, hidungnya mirip sekali seperti hidung renjun.

"Ini putra anda, menggemaskan sekali" pujinya.

Renjun tersenyum seraya menerima anaknya dari gendongan suster cantik tersebut.
"terimakasih"

Ia mengelusi dahi anaknya yang merengek karena sedikit terusik.

"Ssttt... sayang, ini bunda"

Renjun masih setia mengelus dahi anaknya kemudian beralih ke pipi putihnya, terasa halus sekali. Kulitnya yang kemerahan kini sudah mulai berangsur menjadi putih.

"Kalau begitu saya pamit tuan"

"Baik" Mark mengangguk kecil kepada sang suster kemudian mengucapkan terimakasih.

Mark terpaku pada sosok yang ada di depannya ini, senyum renjun menjadi salah satu hal yang masuk kedalam daftar kebahagiaannya.

Dan kini hadirnya bayi mungil itu, menambah kebahagiaannya berkali lipat.

"Hyung, lihat dia bangun" renjun bahagia sampai-sampai dia tidak sadar kalau air matanya ikut menetes "halo jagoan kecil bunda, terimakasih sudah hadir disini sayang"

"Mirip sepertimu"

Renjun mengangguk "ya, karena dia anakku" ujarnya, lalu terkekeh pelan "hyung, kemari aku ingin dia melihat ayahnya juga"

Jantungnya berdetak dua kali lipat, darahnya berdesir hangat, tubuhnya mendadak kaku sejenak. Kalimat itu, kalimat yang bahkan Mark tidak menyangka sama sekali akan keluar dari bibir renjun. Meskipun dia pernah memintanya waktu itu.

Dengan langkah pelan Mark beringsut mendekat, tangannya dengan ragu ikut menyentuh pipi halus bayi mungil itu. "Ini ayah sayang"

Renjun tidak pernah mengira dia akan menjadi orang seberuntung ini, diberikan anugerah sebesar ini. Ia bahagia sekali, kini ia tidak akan sendiri, putranya hadir untuknya.

"Hyung, sudah menyiapkan nama?"

"Aku?"

Lagi-lagi Mark terkejut, renjun ingin Mark memberikan nama untuk bayinya.

"Ya, aku tidak tau ingin memberinya nama apa hyung"

"Bagaimana kalau chenle" usulnya. "Jung chenle?" Mark ragu untuk ikut menyebutkan marganya, dia takut renjun tidak menerima itu.

Tapi dia salah, renjun mengangguk "namanya bagus, Jung chenle"

Sejatinya, renjun tetap ragu kalau chenle diberikan marga Jung karena dia seharusnya mengikuti marga dari ayahnya.

Tapi toh sia-sia saja kalau dia mengharapkan kehadiran Jeno, orang itu belum tentu menerima anaknya.





•••






"Jeno, pertunangan kalian akan diadakan bulan depan"

Jeno menghentikan gerakan sendoknya. Dari awal dia tidak berminat dengan sarapan bersama seperti ini, apalagi bersama Park xiyeon— wanita yang hobi sekali menempelinya, padahal jelas-jelas dia sudah memberikan sikap penolakan.

Wanita itu benar-benar, tidak mengerti bahasa yang diucapkan.

"Ma, aku harus kembali ke Paris" Jeno berusaha mengelak.

"Papa sudah memutuskan untuk memindahkan kuliahmu disini"

Netranya membola, semua sudah diatur. Sejak awal, dia memang dilarang untuk memutuskan.

"Terserah kalian" Jeno memundurkan kursinya untuk segera berlalu dari sana.

Memuakkan, orang-orang itu hanya bisa membicarakan tentang perjodohan dan bisnis

Jeno kembali ke kamarnya, ia teringat renjun. Rindu sekali, sekarang ia sudah jarang mengikuti pemuda manis itu. Tidak bisa karena wanita yang akan dijodohkan dengannya tersebut. Tapi tenang, Jeno masih bisa memperoleh informasi dari orang suruhannya.

Hingga sebuah pesan masuk, membuat perasaannya tak karuan.

|tuan, renjun ada di rumah sakit xx
|dari informasi yang saya dapat, beliau menjalani operasi
|tapi operasi apa, saya kurang tau.

ah baik, terimakasih untuk informasinya|









tbc

hєllσ ραρα° [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang