Setelah mereka puas memukuli dan menendangku, mereka pergi begitu saja membawa amplop berisi uang dan kotak makan milik ku. Dasar bedebah sialan, akan ku balas suatu saat nanti. Aku segera merapikan seragamku, aku kembali berjalan menuju kelas ku sambil menahan rasa sakit ku. Saat aku melewati kelas Catrina, tidak sengaja kami berpas-pasan.
"Kakak kenapa?". Tanya Catrina sambil melihat seluruh tubuhku yang memar."Tidak apa-apa". Kataku mencoba menutupi beberapa luka yang lumayan parah.
"Kakak sudah sarapan?".
"Sudah, tenang saja". Kataku mengelus kepalanya lembut.
"Yakin? Kalau belum, aku mau kasih roti lapis ini untuk kakak". Kata Catrina sambil menyodorkan roti lapis isi mentega yang biasa dia beli untuk cemilan sebelum masuk.
"Tidak usah, untuk kamu saja. Kamu pasti lelah habis piket".
"Tidak kok, kalau kakak mau, ambil saja". Catrina masih saja menyodorkan roti miliknya.
"Tidak usah pikirkan kakak, untuk kamu saja rotinya. Kakak ke kelas kakak dulu ya, jangan nakal di kelas, ok?". Kataku lalu berjalan perlahan meninggalkan Catrina.
"Iya iya, nanti istirahat aku kesana ya". Jawab Catrina.
Aku kembali berjalan menuju kelas ku, sesampai disana, beberapa orang melihatku dengan pandangan yang simpati, tetapi mereka hanya diam melihatku yang ditindas. Lagipula siapa juga yang rela kehilangan kesempatan sekolah dengan biaya murah seperti disekolah ini, hanya karena seorang laki-laki seperti ku. Aku langsung duduk di kursiku dan langsung mengeluarkan sebuah buku yang biasa aku baca.
BRAK!
"Pergi dari sini! Ganggu pandanganku saja". Ucap Shio, setelah menendang kaki bangku ku dari kolong mejanya. Kami adalah teman yang cukup dekat, walau terlihat jutek dan dingin, tapi dia cukup perhatian, terutama saat dia tau aku babak belur setelah di bully. Bahkan dia dulu pernah memukul ku dengan kencang karena aku sempat menolak perkataannya untuk mengobati luka ku, dia memang sedikit berbeda dari manusia lainnya."Berisik! Nanti sa-". Tiba-tiba saja tangan ku ditarik dengan kasar oleh Shio.
"Hei, lepas kan tangan ku, sakit tau!". Aku mencoba melepaskan tangan ku.
"Bacot!". Shio hanya menjawab kalimat ku dengan satu kata dengan nada penekanan, dan itu cukup untuk membuat ku diam. Ketika Shio sudah berkata kasar dengan nada yang penuh penekanan, itu berarti dia sudah sangat marah.
Kami terus berjalan dalam keheningan menuju UKS, sesampai disana, Shio langsung menunjuk kursi yang memang sudah disediakan untuk pasien. Aku langsung duduk tanpa mengeluarkan satu kata pun, lalu Shio menyusul duduk di bangku sebelahku sambil membawa kotak P3K. Shio mulai mengambil kapas lalu diteteskan antiseptik, lalu ia mulai mengobati lukaku.
"Sudah puas bermainnya?". Shio bertanya degan penuh penekanan.
"Ayolah, kenapa kamu marah denganku? Mereka yang menindas ku, ya ampun, kau benar-benar kejam Shio".
"Masih berani tanya kenapa aku marah?". Shio bertanya sambil dengan serius mengobati memar yang ada di wajah ku.
"Memangnya aku salah?". Aku bertanya balik.
"Tampan saja tidak ada gunanya jika bodoh. Tidak heran kenapa para pecundang itu menindas mu". Shio berkata tanpa beban sama sekali.
"Omongan mu melukai hatiku". Aku berkata dengan nada yang lesu.
"Aku tidak bermaksud". Jawab Shio cepat.
"Aku tau kamu perhatian, tapi setidaknya sifat mu itu diru- AAAAAWWWW!! Tidak bisakah lebih pelan?!". Aku bertanya dengan sedikit emosi, pasalnya karena Shio dengan sengaja menekan luka di dekat bibirku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertumpahan darah
Ação"Penghianat kalian semua!!". Teriak ku kepada 'mantan bawahan' ku. "Kami tak bermaksud seperti itu, Tuan muda". Cegah seorang laki-laki berambut pirang. "Tak ada lagi kepercayaan untuk kalian. ENYAH LAH SEKARANG!! Selagi aku masih ada kesabaran". Ce...