Belum sempat melawan, terdengar pecahan kaca yang berjatuhan. Seolah ada yang menghempaskan benda tumpul di belakang mereka hingga udara dingin dan rintikan hujan masuk ke dalam ruangan, menambah kekacauan yang sudah ada.
Serpihan kaca bertebaran di mana-mana. Spontan mereka semua menutup mata, lengan bergerak secara naluriah ke atas kepala. Respon tubuh mereka yang begitu cepat sampai-sampai tidak sadar kaki mereka telah bergeser dari titik awal. Seolah otak mengirim pesan kepada tubuh untuk merunduk, menjatuhkan tubuh ke lantai, mencari perlindungan.
Kedua telinga sontak berdenging, membuat kegaduhan di sekitar teredam di telinga. Seolah seluruh dunia berhenti di hadapan mereka. Suara jeritan Clarisa tertahan. Mulutnya terbuka hingga pita suaranya terlihat bergetar.
Sesaat Alvin dapat kembali mengendalikan tubuhnya yang sempat kehilangan kendali karena panik, Xanor sudah mengulurkan tangan untuk menggapai pemuda misterius yang mencekik Clarisa. Dia bergeser ke samping dan membanting lawannya ke lantai. Semuanya terjadi amat cepat sampai mereka semua belum sempat bereaksi. Namun Alvin mendapati dirinya sedang menatap Hana, dengan ekspresi wajah yang terlihat sangat terkejut, mulutnya terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu, dan kedua tangan memegangi lehernya sendiri.
Clarisa yang terlepas dari belenggu, goyah, dan jatuh ke depan. Raka menarik Hana menyingkir dari pemuda berbahaya tadi. Sedangkan Cass sigap memapah Clarisa yang masih terbatuk-batuk, kesulitan bernapas.
Lalu, semuanya tersentak ke waktu yang nyata. Mereka berlari, kabur ke arah pintu kantor Erik.
"Sial, di mana kuncinya tadi disimpan!" maki Cass yang tiba lebih dulu di depan pintu bersama Clarisa.
"Kenapa malah dikunci, sih!" Clarisa meluapkan kekesalannya kepada penolongnya.
"Karena aku takut kalian akan merusak TKP dan membuat masalah untuk kita semua nantinya."
"Lupakan sesuatu yang belum pasti. Kita belum tentu selamat malam ini! Cepat buka pintunya!" Clarisa kembali batuk keras karena memaksakan diri berbicara padahal baru saja dia hampir mati tercekik.
Tiba-tiba ledakan lain memenuhi udara. Mata mereka terpejam secara naluriah. Angin kencang makin menggila, meniup tetesan air hujan, memercik wajah pucat pasi segerombolan manusia yang terjebak dalam mimpi buruk tanpa ujung. Ketika mereka membuka mata lagi, terlihat Raka roboh ke lantai. Dia langsung ambruk begitu saja, meringkuk ke salah satu sisi. Mereka semua merasa seolah berada dalam gerakan lambat, melihat darah menyebar di bagian belakang baju pemuda malang itu. Ada lubang hitam di kain kausnya, tepat di tengah-tengah darah itu.
Mereka tidak yakin di bagian mana persisnya pemuda itu tertusuk, tapi matanya terlihat buruk, seolah api kehidupan dalam matanya telah padam. Hana yang sedari tadi berada di sisinya berteriak histeris, air mata berjujuran di wajahnya.
Pintu akhirnya terbuka, tanpa berpikira panjang, Alvin yang berada di sebelah Raka menarik tubuh lemas itu masuk ke dalam ruangan. Alvin berusaha setengah mati hingga jantungnya serasa akan meledak. Dia merasa seolah sedang berlari melewati pasir yang dalam dan licin. Kakinya terasa berat dan lelah. Dadanya terasa seperti seseorang telah mengikat sesuatu di sekitarnya, menguras udara di setiap jengkalnya.
Mereka yang tadi berada di barisan paling belakang, lekas mendorong Cass dan Clarisa agar bisa menghindari pembunuh berdarah dingin dan Xanor yang terakhir masuk membanting pintu dan mengunci dari dalam. Mereka meringkuk bersama-sama, saling memunggungi satu sama lain, melihat sekitar bila akan ada serangan susulan, kecuali Hana. Dia berdiri membungkuk dengan pinggang tertekuk, hampir berjongkok, pantatnya menekan dinding. Rambutnya yang tadi tertata rapi dengan jepitan rambut merah, sudah berubah acak-acakan dengan untaian-utaian poni yang sudah jatuh tergerai di sekitar wajahnya. Dia gemetar begitu keras hingga giginya bergemelutuk.
Sementara Alvin berusaha sendiri mendudukan Raka yang bernapas tipis-tipis. Sayangnya tidak ada yang paham dengan pertolongan pertama, sehingga Raka hanya pasrah dengan rasa sakit yang luar biasa hingga dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
Cass dan Xanor mendekati keduanya, Xanor memegangi tangan Raka, sementara Cass mencoba terus berbicara dengan Raka agar dia tidak tertidur, sebab tidak ada yang bisa menjamin apakah dia akan bangun lagi atau tidak. Tapi semua tindakan itu sia-sia.
"Hana ..." kata Raka yang terdengar seperti bisikan yang memilukan. "Orang yang di luar itu ... sepertinya ... aku pernah bertemunya. Di mana ya ...."
Hana menggigit bibir, menggeleng kuat. Air mata makin deras berjatuhan dari pelupuk matanya.
"Hana ... aku mau kamu jujur ... padaku. Siapa, itu?"
Cass mencengkram bahu Raka dengan erat. "Hentikan, Raka. Kamu tidak boleh banyak berbicara. Fokuslah untuk mengolah napasmu!"
Raka melirik ke Cass dan dia membalas, "Sudah tidak ada ... waktu lagi. Aku ... ugh ... hanya ingin ... kebenaran ...."
Akhirnya Hana mengangkat wajah. Matanya bengkak, bibirnya bergetar hebat. Dia tidak kuasa melihat kondisi Raka, tapi dia lebih merasa amat bersalah jika Raka pergi, selamanya tanpa mengetahui kebenarannya. Setelah menelan ludah beberapa kali dan menghapus air mata, Hana menatap Raka dengan ekspresi penuh penyesalan.
"Dia ... adalah aku. Sebelumnya, aku adalah seorang laki-laki."
"Sudah kuduga ...." Raka menghela napas dan tersenyum lirih.
"Raka, kamu ... pasti membenciku, kan?"
Namun, Raka tidak menjawab. Dia benar-benar duduk tenang. Alvin mencondongkan tubuh ke depan, memastikan apakah Raka masih bernapas atau tidak. Wajahnya yang hanya beberapa menit yang lalu mengerut menahan sakit, sekarang tersenyum tipis. Pipinya terkena bercak merah darahnya sendiri dan rahangnya gemetar. Alvin bisa merasakan perasaan terhina dan kecewa memancar dari Raka, hampir bisa melihatnya roboh karena ketidak berdayaannya. Hal itu segera membuat Alvin takut. Biasanya korban dari kebohongan berkepanjangan akan marah, memberontak. Akan tetapi berbeda dengan Raka. Dia tampak seperti ingin menangis.
"Membencimu? Tidak juga. Kesal, pasti iya. Tapi aku bersyukur ... orang yang kusukai ... adalah orang yang dulu ... menyelamatkanku." Suara Raka perlahan rendah hingga menjadi gumaman kecil yang memilukan. Dan Raka menutup matanya dengan wajah yang terlihat lega.
Psikiater yang dulu merawat Alvin pernah berpesan bahwa pengalaman yang bersinggungan dengan kematian akan mengubah orang yang mengalaminya. Bahwa orang itu akan menemukan arti toleransi dan cinta yang sebenarnya. Bahwa orang itu tidak lagi memiliki banyak kepicikan dan kebencian terhadap sesama manusia.
*** *** ***
Author note:WARNING!
If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.
Thank you,
Hygea Galenica
--- --- ---
PERINGATAN!
Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.
Terima kasih,
Hygea Galenica
*** *** ***
KAMU SEDANG MEMBACA
ON Series: Game Over (REPUBLISH-NEW CHAPTER)
ParanormalApa yang akan terjadi jika Metaverse atau alam semesta fiktif mulai mengambil alih realita sebenarnya? Alvin, seorang mahasiswa di Universitas Clarius Jaya, mengalami kecelakaan maut yang menyebabkan dirinya kehilangan kedua orang tua dan adiknya. A...