08. liontin

206 28 0
                                    

Kedua tangan itu kini bertaut, saling menggenggam satu sama lain, "Pelan-pelan aja," sahutnya melihat Zelda yang terlihat sangat gugup saat menaiki skateboard itu.

Takut akan terjatuh, Zelda menggeleng cepat lalu menatap lelaki di depannya ini dengan tatapan cemas, "Udah! Gue takut..." timpalnya dengan degupan jantung yang amat kencang.

Melihat ekspresi Zelda, lelaki ini terkekeh kecil melihat tingkah gadis di depannya ini, "Sini," Lelaki itu menggenggam tangan Zelda untuk membantu gadis itu turun dari skateboard yang sedari tadi gadis itu gunakan.

Setelah berhasil turun dari skateboard itu, Zelda menghela napasnya seraya melihat-lihat ke arah sekitarnya dengan perasaan yang lumayan senang. Entahlah, ada banyak orang baik yang membuatnya berhasil melupakan masalah nya sejenak dalam seharian ini. Lain halnya dengan laki-laki yang telah mengajari nya bermain skateboard hari ini. Laki-laki itu malah terus saja menatapnya dengan senyuman kecil.

"Oh ya! Makasih banyak udah ngajarin gue. Seru banget tadi, udah lama gue mau main skate tapi gak tau mau minta ajarin ke siapa. Sekali lagi makasih, ya?" ungkap Zelda. Sudah sejak lama Zelda sangat ingin bermain skateboard, namun tidak ada yang bisa di ajaknya untuk bermain ini. Tidak. Seperti nya gadis itu pernah bermain skateboard, tetapi lupa kapan tepatnya. Lupakan saja!

Lelaki itu hanya mengangguk singkat Sarah mengulurkan tangannya pada Zelda, "Juanda Shankara," ukuran tangan Juanda di terima dengan baik oleh Zelda.

"Zelda Alshava," balas Zelda, namun tatapan gadis itu seolah teralihkan oleh sesuatu. Menyadari kemana arah pandang gadis di depannya ini, Juanda dengan cepat melepaskan liontin yang sejak lama mengalung di lehernya, "Mau ini, kan?" tanya Juanda memberikan liontin dengan bentuk bulat yang dihiasi oleh gambar bunga daisy yang amat memanjakan mata.

"E-eh? Gak kok! Gak usah. Gue cuma liat aja soalnya cantik," Jujur saja, tangan Zelda sangat gatal ingin menerima liontin itu, namun gadis itu juga tidak ingin menurunkan harga dirinya hanya karena ketertarikannya terhadap liontin itu.

Juanda tahu persis apa yang dipikirkan Zelda, maka dari itu, tanpa ba-bi-bu Juanda bergerak memasangkan kalung itu pada leher indah milih Zelda. "Liontin ini kayaknya emang ditakdirin mengalun di leher lo, cantik." ungkap nya lalu kembali pada posisi awal nya, "Lo balik sama siapa? Kalau gak ada biar gue anter,"

"Eh, gak usah, ngerepotin banget, gue ada sopir kok, tenang aja," tolak Zelda. Seperti nya ada yang salah dengan diri zelda saat ini. Gadis itu tidak biasanya dekat dengan orang yang baru ditemui nya seperti ini, tetapi mengapa saat bertemu Juanda, Zelda serasa bahwa dirinya sedang dilindungi dari berbagai sisi saat bersama dengan laki-laki ini? Aneh sekali.

Tangan kekar Juanda sempat menyentuh liontin itu beberapa saat, mengusapnya lalu tersenyum tipis. "Jangan di lepas, dia bakal banyak bantu lo kedepannya,"

Juanda menghela napasnya lalu menatap Zelda, "Yaudah, lo pulang sekarang aja. Gue pantau dari sini," jujur saja, Zelda merasa ada sesuatu dalam dirinya. Entah apa itu, yang jelas gadis ini merasakan hal aneh.

"Gue duluan, ya!"

Usai berpamitan dengan Juanda, Zelda kini berjalan menuju mobil yang tengah di sandari oleh──Justin? Sebentar! Apa Zelda salah lihat? Bukankah tadi laki-laki itu berkata bahwa dirinya sedang mengerjakan essay? Kenapa tiba-tiba ada disini?

"Lo kok disini?" tanya Zelda mengamati Justin dari ujung kaki sampai ujung kepala. Berbeda dengan Justin, laki-laki itu malah anteng bersandar di mobil dengan tatapan tajamnya, "Harusnya gue yang nanya, lo ngapain disini padahal udah gue suruh pulang dari tadi sore? Pake segala main sama orang yang gak dikenal, kalau tiba-tiba lo diapa-apain, gimana? Gak mikir?" cetusnya sedikit emosi. Justin rela menunda untuk mengerjakan essay nya hanya karena khawatir Zelda kenapa-kenapa disini. Alhasil Justin meminta share location pada sopir yang mengantar Zelda ke tempat ini. Tetapi saat sampai disini, Justin malah disuguhkan oleh pemandangan seperti tadi.

Lagipula ini adalah salah Justin sendiri. Kenapa juga dirinya mau meninggalkan tugas-tugasnya dengan deadline mepet itu hanya karena Zelda? Memangnya Zelda siapa? Hanya orang yang menumpang hidup padanya, kan? Harusnya Justin tidak sepeduli ini terhadap Zelda. Justin ingat janji awalnya dengan Zelda bahwa tidak ada yang boleh mencampuri urusan satu sama lain. Tetapi apa? Justin sendiri lah yang melanggarnya. Justin bahkan sudah berani melarang Zelda melakukan ini itu. Bukan karena hal lain, tetapi murni karena Justin memang mengkhawatirkan gadis ini. Justin sudah menganggap Zelda sebagai adiknya sendiri. Sejak dulu lelaki ini memang sangat ingin mempunyai adik. Sungguh miris.

Zelda terdiam sejenak mendengarkan omelan dari Justin, "Iya, maaf. Maaf selalu ngerepotin lo." imbuhnya merasa bersalah. Zelda merasa bahwa dirinya benar-benar merepotkan banyak orang.

Justin sama sekali tidak berniat untuk melukai perasaan Zelda. Justin hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada gadis ini. Mengingat orang-orang di sekitar sini sangatlah liar membuat Justin merasa gelisah sendiri saat memikirkan keberadaan Zelda. Alhasil Justin menyusul gadis ini.

Di sisi lain, ada Juanda yang tengah menyaksikan perdebatan dua insan itu. Juanda melangkahkan kakinya menuju dua orang yang tengah beradu mulut itu dengan skateboard yang masih berada dalam genggaman tangannya, "Pacarnya Zelda, ya?" tanya Juanda sopan seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Justin, "Kakak nya." jawab Justin ketus. Entah kenapa perasaan Justin sedikit tidak enak saat berada di sekitar Juanda. Berbeda jauh dengan Zelda, gadis itu malah merasakan kehangatan jika sedang berada di dekat Juanda.

﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌

Suasana hening menyelimuti Zelda dan Justin di dalam mobil. Tadinya Zelda ingin naik mobil yang dia tumpangi sejak pergi tadi siang, namun tiba-tiba Justin menyuruhnya untuk naik ke mobilnya saja. tidak ingin membantah ucapan Justin, Zelda akhirnya mengiyakan dan naik ke mobil Justin.

"Lo ngapain aja sih tiap hari keluar mulu, sibuknya udah melebihi dpr tau gak lo?" lontarnya pada Zelda yang tengah melamun, entah apa yang gadis itu tengah pikirkan.

"Lo inget pas gue bilang kalau gue dari masa lalu, kan? Gue gak bohong, terserah lo mau percaya apa gak. Gue fine fine aja awalnya, sampai dimana gue kepikiran kalau kedatangan gue kesini pasti ada penyebabnya, dan bener aja──gue ada di sini sekarang karena ada suatu hal yang harus gue selesaiin. Karena kalau gak, keluarga gue bakal kena malapetaka. Dan gue──bakal meninggal di umur 22 tahun. Kasarnya, tahun ini gue bakal meninggal. 2027." jelas Zelda lalu melirik ke arah Justin dengan senyuman kecil. Justin yang mendengar ungkapan itupun langsung menepikan mobil yang tengah dikendarainya, "Maksudnya?" Demi tuhan! Justin sama sekali tidak mengerti akan ucapan dari gadis ini.

Zelda menghela napasnya kasar. Mau dijelaskan berkali-kali pun, Justin tidak akan mengerti. Bukan hanya tidak mengerti, laki-laki ini juga tidak akan percaya akan ucapannya. Hal ini saja menurut Zelda sangat tidak masuk akal, "Keluarga gue kena kutukan. Anak perempuan kedua yang lahir dari keluarga Ibu gue, bakal mati di umur nya yang ke 22 tahun. Dan gue anak perempuan kedua. Tahun ini umur gue udah 22 tahun, yang artinya gue bakal meninggal di tahun 2027." Walau sulit di percaya, namun Justin bisa membaca raut wajah Zelda saat berbicara tadi. Tidak ada tanda-tanda kebohongan yang muncul dari raut wajah gadis itu.




THE MAGIC OF LIBRARY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang