Kak Nasrul memintaku diam sebentar, karena ia ingin menceritakan semuanya. Peristiwa masa kecil yang sama sekali tak kuingat.
"Waktu kecil Gilang itu punya temen khayalan. Dia sering ngomong sendiri di kamar. Awalnya ibu sama ayah gak pernah ambil pusing sama kelakuannya. Soalnya ibu juga waktu kecil pernah kaya gitu," cerita Kak Nasrul.
"Tapi ... lama kelamaan tingkah Gilang semakin aneh. Dia pernah tiba-tiba ngilang. Tau-tau ada di jalan raya. Dia juga jadi sering tantrum. Tantrumnya ngamuk-ngamuk, ancur-ancurin barang. Pernah juga ngomong kasar, padahal orang rumah gak ada yang ngomong kasar. Akhirnya ayah sama ibu bawa ke Kyai untuk ditutup mata batinnya," sambungnya.
Aku hanya bisa melongo mendengar cerita Kak Nasrul. Kenapa ia, ayah dan ibu tidak pernah menceritakan padaku.
"Sekarang udah semakin jelas," ucap Ustad Azzam.
"Jelas gimana, Pak Ustad," sahutku.
"Kemampuan kamu itu dianggap ancaman bagi mereka."
"Tapi kan, gara-gara mereka saya jadi bisa liat lagi. Kenapa jadi saya yang malah diincer?"
Ustad Azzam menghela napas, mungkin lelah mendengar pertanyaanku. Namun, aku benar-benar butuh penjelasan yang mudah dimengerti. "Gini ... anggap aja kemampuan kamu itu sebagai alarm. Alarm itu akan aktif dan berbunyi kalau ada bahaya di sekitar kamu."
"Berarti bunyi alarmnya terlalu keras, Pak Ustad. Sampai banyak orang yang datang dan kumpul di depan rumah."
"Mereka menaruh harapan sama kamu biar bisa terbebas dari jerat Jin Pesugihan."
"Aurora bilang, tujuan mereka bukan lagi minta tolong, tapi minta saya jadi bagiannya, Pak Ustad."
Ustad Azzam menatapku cukup lama. "Apa ada keluarga korban yang baru saja meninggal?"
"Iya," balasku, singkat.
"Berarti omongan Aurora bener. Mereka mencari tumbal lain. Berarti juga, tumbal yang dijanjikan itu kurang. Apa ada korban selamat dalam kecelakaan itu?"
"Ada. Supirnya berhasil selamat."
"Harusnya dengan meninggalnya salah satu anggota keluarga korban. Tumbalnya sudah genap. Tapi ... kenapa mereka masih ngejar kamu sampai ke sini?"
"Jangan tanya saya Pak Ustad. Saya juga bingung," balasku.
"Apa ente gak bisa narik salah satu dari mereka buat cerita?" ucap Om Herman.
"Gak bisa. Mereka dijaga ketat. Kalau salah satu ditarik nanti malah datang semua pasukannya."
"Jadi emang harus berhadapan langsung sama pemimpinnya?"
"Iya, pemimpinnya harus dikalahin dulu. Baru Aurora, Gilang, dan tumbal lainnya bisa diselamatkan."
"Ente sanggup, Zam?"
"Insya Allah."
"Berhubung sekarang udah terlalu sore. Besok aja kita berangkat ke Cirebon," ucap Om Herman.
"Apa gak ada cara lain, Om?" Aku sangat takut untuk pergi ke sana. Apalagi setelah mimpi kecelakaan itu.
"Gak ada. Kita harus datang ke sana. Sekalian bersihin tempatnya supaya gak ada lagi kecelakaan," balas Ustad Azzam.
"Itu pake kandang Jin, Zam?" tanya Om Herman.
"Iya, Man. Para korban emang sengaja digiring ke kadang Jin."
"Kandang Jin itu apa?" tanyaku, bingung.
"Kandang Jin itu, tempat Jin Pesugihan dan anak buahnya. Biasanya tempat atau jalan yang ada kadang Jinnya, akan rawan kecelakaan. Dan, cara satu-satunya bersihin kadang Jin itu harus pergi ke sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi [SUDAH TERBIT]
HorrorSetelah tujuh hari kematian ibu, suasana rumah berubah mencekam. Suara rintihan kerap kali terdengar dari kamarnya. Aku pun melihat, ibu sedang membenturkan kepalanya ke jalan. Ada apa dengan kematian ibu?