Sore ini, jalanan di sekitar Bogor seperti penghijauan. Penuh dengan angkot berwarna hijau. Hampir setengah jam, mobil hanya bergerak beberapa meter.
"Bisa malem nih sampenya," celetukku.
Om Herman hanya tertawa sambil memperhatikan jalan. "Kalau sampenya malem ntar nginep aja di sana."
"Setuju, Om! Dari pada nanti liat anak kecil nyebrang jalan lagi."
"Kamu itu emang sensitif atau bisa liat?"
Aku bingung dengan pertanyaannya, "Maksudnya apa, Om?"
"Maksudnya sering liat hantu atau sejenisnya?"
"Gak pernah, Om. Baru beberapa hari terakhir ini aja."
"Hmm, Om kira emang bisa ngeliat dari dulu."
"Kalau itu iya, Om. Nih lagi liat jalanan."
Om Herman tertawa. "Tadi Aurora bilang apa?"
"Dia bilang ada Anjing Hitam di atas mobil ini."
"Oh, mungkin itu yang bikin mobil gak bisa nyala."
"Kayanya begitu."
"Sekarang ada?"
"Nah ... aku gak tau Om. Soalnya yang liat cuman Aurora."
Setelah satu jam lebih berkutat dengan kemacetan. Kini jalanan sudah agak lengang. Mobil melaju dengan cepat ke sebuah desa di kaki Gunung Salak. Desa Pasirjaya.
Meski di dalam mobil, aku bisa merasakan kalau udara agak lebih dingin. Ditambah langit yang terlihat gelap.
"Bogor masih sama dari dulu. Tiap sore hujan," ucapku.
"Kalau lagi musim hujan aja, Lang," balas Om Herman.
Mobil mulai menyusuri jalan desa. Rumah mulai terlihat jarang, berganti dengan pepohonan. Aku melihat ke kaca depan, sedikit menengadah. Menatap keindahan Gunung Salak.
Om Herman membelokan mobil ke jalan yang lebih sempit. Hanya cukup untuk satu mobil saja. Kemudian, tepat di sebuah lahan kosonh, ia memarkiran mobilnya.
Kami pun turun dan berjalan kaki. Kurang dari lima menit sudah sampai di depan sebuah rumah berpagar hijau. Om Herman masuk ke dalam, sementara aku menunggu di luar pagar.
Seorang remaja wanita menyambut kedatangan Om Herman. Terjadi obrolan antara keduanya. Tak berselang lama, Om Herman mengambil ponsel dari saku celananya dan menelepon seseorang. Kemudian, ia membalikan badan dan berjalan ke arahku.
"Kenapa, Om?" tanyaku, bingung.
"Temen Om-nya gak ada di rumah," balasnya.
"Emang gak janjian dulu?"
"Biasanya dia ada di rumah."
"Mungkin sekarang lagi ada urusan."
"Iya, yuk pulang! Sebelum hujan."
Kami berjalan menuju mobil.
Tuk! Tuk!
Suara tetesan air hujan terdengar di atap mobil, saat mobil baru saja meninggalkan desa. Om Herman mengurangi kecepatan. Kulirik jam di dashboard, menunjukan pukul setengah enam sore.
Perasaan ini mendadak tak enak. "Cari masjid dulu, Om. Sebentar lagi magrib."
"Iya," sahut Om Herman.
Aku mengambil ponsel. Tak ada sinyal. Kemudian kutaruh ponsel di atas dashboard, sambil menatap lurus ke depan. Jalanan begitu gelap, seperti tak ada penerangan. Om Herman hanya diam saja, fokus melihat jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi [SUDAH TERBIT]
HororSetelah tujuh hari kematian ibu, suasana rumah berubah mencekam. Suara rintihan kerap kali terdengar dari kamarnya. Aku pun melihat, ibu sedang membenturkan kepalanya ke jalan. Ada apa dengan kematian ibu?