Menembus Hujan

38.8K 2.8K 181
                                    

Hujan belum juga reda. Sementara aku dan Cecep masih bertahan di dalam pos satpam. Dari tadi, ia terus memaksaku menonton youtube cerita horor. Semuanya bertemakan pesugihan. Sehingga aku mulai sedikit mengerti tentang hal itu.

"Emang bisa numbalin orang lain, Cep?" tanyaku.

"Bisa banget, Lang," balasnya.

"Enak banget dong! Kaya tanpa ngorbanin keluarga sendiri."

"Iya. Tapi ... kasian keturunannya nanti."

"Kok kasian? Kan enak dapet warisan banyak."

"Namanya harta instan, Lang. Bisa ilang secara instan juga. Di kampung gua dulu ada yang ngelakuin begituan, terus hidup anak cucunya kaya ketiban sial terus, mana miskin pula. Tapi ada juga yang malah ngelanjutin kelakukan bapaknya. Biar tetep kaya."

"Berarti masuk ke lubang yang sama."

"Iya."

"Lu tau gak bentuk Jin Pesugihan itu kaya gimana?"

"Ada yang bentuknya Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Pocong dan Siluman."

"Oh, kalau yang bentuknya kaya anjing itu apa ya?" Aku penasaran dengan sosok yang ada di dalam mimpi tadi sore.

"Ya itu Siluman. Emang kenapa lu nanya-nanya?"

"Kagak kenapa-napa, cuman kepo aja."

"Afah iyah?"

"Ih alay."

"Lu gak mungkin tiba-tiba bilang gitu. Pasti ada alesannya."

"Kagak ada! Dah gua cabut dulu." Aku bangkit sambil membawa tas.

"Mau ke mana, Lang?" tanya Cecep.

"Mau ke rumah temen," sahutku.

"Tadi bilangnya gak jadi."

"Barusan dia WA kalau ada di rumah."

"Masih hujan, Lang."

"Ada jas hujan kok." Aku melangkah ke luar, sembari mengedarkan pandangan. Takut kalau Pak Ayman masih ada di sekitar sini. Setelah dirasa aman, bergegas aku membuka jok motor lalu mengambil jas hujan.

"Parah si Gilang malah kabur," ucap Cecep.

"Daripada ngendok doang di dalem pos," sahutku sembari mengenakan jas hujan. "Gua pergi dulu, Cep. Hati-hati."

"Asli lah, cukup tau aja gua ditinggal sendiri."

"Bukannya udah biasa sendiri?" Aku mengambil kunci motor.

"Iya, tapi hari ini beda."

"Sama aja kok, Cep. Dah sana masuk ke pos lagi nanti ada ... hiii."

"Awas lu, Lang!" Cecep masuk ke dalam pos.

Aku naik ke atas motor, lalu menyalakannya. Bergegas meninggalkan perumahan ini. Sebenarnya, tujuanku bukan ke rumah teman. Melainkan rumah Om Herman — adik kandung ibu di Bogor. Ia adalah satu-satunya keluarga ibu yang paling dekat denganku. Aku juga sering menginap di rumahnya.

Cukup nekat memang pergi dalam kondisi hujan lebat seperti ini. Namun, ini jauh lebih baik daripada berdiam diri di dalam pos sampai pagi.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba aku teringat dengan Samson. Lupa meninggalkan makanan untuknya. Ingin kembali ke rumah, tapi ... situasi tidak mendukung. Tidak hujan saja, perumahan sudah sangat horor. Apalagi hujan begini.

Setelah menempuh 30 menit perjalanan. Hujan sudah mulai reda. Aku bertepi di pinggir jalan untuk melepas jas hujan. Kemudian mencari tempat makan.

Di sela-sela menunggu pesanan datang, aku mengambil ponsel di dalam tas, lalu menelepon Ega.

Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang