Tiga

160 34 32
                                    

Matahari cukup terik siang ini. Padahal Kafi pikir akan turun hujan karena pagi tadi suasana berkabut dan dingin. Ia memesan dua buah es kelapa muda tanpa menggunakan susu ataupun gula supaya Aisyah mau meminumnya.

"Ais...."

"Assalamualaikum, Mas."

"Oh ya, aku lupa. Waalaikumsalam."

Aisyah geleng-geleng kepala, melihat kelakuan suaminya. Kafi sering sekali lupa mengucapkan salam meski ia sudah mengingatkannya berkali-kali. Namun, ia tak akan pernah lelah untuk mengingatkan karena lupa adalah sifat wajar manusia.

"Apa itu, Mas?"

"Kelapa muda, lumayan di minum saat panas-panas seperti ini. Tolong ambilkan gelas sama sendok, satu buat kamu dan satu buatku."

Kafi meletakkan kantong kresek berwarna putih, berisi dua bungkus es kelapa muda di meja. Lalu ia merebahkan tubuhnya di kursi panjang sembari menunggu Aisyah mengambil gelas.

"Pakai es semua ya, Mas?" Aisyah membawa gelas dan sendok seperti yang Kafi perintahkan.

"Iya. Cuaca panas jadi aku minta pakai es. Kenapa?"

"Takut Latifah pilek, Mas."

"Oh iya, anakku yang paling cantik masih kecil belum boleh minum es. Ya sudah, aku beli lagi tanpa es."

"Tidak usah, Mas. Biar ini saja nanti."

"Masa aku minum sendirian. Aku tidak mau. Kita minum sama-sama nanti."

Aisyah tersenyum, meski masih banyak yang mencemooh dan mengatakan dirinya tak beruntung mendapatkan suami seperti Kafi. Namun, nyatanya Kafi pria yang baik dan pengertian.

"Ais, tadi aku ketemu sama Furqon pas mau berangkat ke pasar."

"Furqon? Furqon teman Mas yang dulu itu?"

"Iya, dia masih hidup dan sekarang gayanya seperti pejabat keluarahan. Pakai sepatu segala."

"Alhamdulillah kalau masih hidup dan sehat."

"Bukan hanya itu, dia bawa artis."

"Artis?"

"Iya. Bajunya seksi, dandannya cetar seperti ondel-ondel."

"Hus, tidak boleh seperti itu, Mas. Kita tidak boleh menghina orang lain."

"Aku tidak menghina, faktanya seperti itu.  Untung istriku tidak seperti dia. Ayo mendekat kemari Ais, Sayang."

Kafi mengulurkan kedua tangannya ke arah Aisyah.

"Ish, Mas. Jangan bercanda terus. Kalau sudah tidak berkeringat, segera mandi dan salat Dzuhur."

"Iya nanti."

"Jangan cuma iya-iya tapi tidur, Mas."

Kafi tertawa. Ia suka sekali dengan Aisyah yang banyak bicara seperti sekarang ini.

"Iya, Sayangku." Kafi mengedipkan matanya menggoda Aisyah.

"Mas...." Aisyah mendekati Kafi dan mencubit pipinya karena Kafi suka sekali menggodanya.

"Sakit, Sayang. Ayo ayah Kafi minta di sun." Kafi menunjuk pipinya tempat dimana Aisyah mencubit dirinya tadi.

"Ehm, panas-panas begini tetep terasa adem ya?"

Kafi dan Aisyah melihat ke arah sumber suara. Sudah ada Furqon yang berdiri di ambang pintu.

"Mengganggu saja." Kafi berucap dengan malas.

"Mas Furqon?" Aisyah terkejut, ternyata Kafi benar. Furqon masih hidup.

"Biasa saja, Ais. Kamu melihatku seperti itu, aku merasa seperti hantu yang kedatangannya mengejutkan orang."

Furqon masuk tanpa di persilahkan kemudahan duduk di dekat Kafi yang masih tiduran di kursi panjang.

"Harusnya datang ke rumah orang itu, salam dulu." Kafi merenggangkan ototnya yang terasa kaku setelah bekerja di pasar memanggul karung-karung dengan berat cukup lumayan. Kemudian ia duduk, "ada apa?"

"Aku ada perlu dengan Aisyah."

"Sembarang kamu!"

Kafi langsung melotot. Ia tidak akan membiarkan pria manapun mendekati Aisyah, termasuk Furqon. Meski Furqon  sahabat karibnya, ia tidak mau berbagi tentang Aisyah.

"Jangan salah sangka dulu. Aku mau meminjam baju Aisyah satu saja."

"Kamu mau pakai baju perempuan, Fur?"

"Ngawur kamu, Kaf. Aku masih waras. Otongku juga masih berfungsi dengan sempurna. Tidak mungkin aku memakai baju perempuan."

"Astagfirullah."

Aisyah beristighfar mendengar ucapan Furqon. Meski ia tahu, sejak dulu Furqon memang seperti itu, tak jauh berbeda dengan Kafi. Namun, ia bersyukur karena sekarang Kafi jauh lebih baik dan jarang berucap kasar ataupun kata-kata tak sopan.

"Terus buat siapa?"

"Kamu sudah pikun, Kaf? Buat wanita yang bersamaku tadi pagi, buat siapa lagi."

"Oh ya, wanita ondel-ondel itu."

"Astagfirullah, Mas Kafi!"

Aisyah menegur suaminya. Padahal baru saja ia berfikir suaminya lebih baik ternyata masih sama dan tak jauh berbeda dengan Furqon.

"Oh iya, aku lupa." Kafi nyengir.

"Ais, pinjam bajumu, ya. Besok aku kembalikan kalau sudah beli."

"Iya, tunggu sebentar."

Aisyah ke kamar mencari baju yang masih layak untuk wanita yang suaminya sebut ondel-ondel.

"Jadi kamu tinggal dimana, Fur?"

"Aku sewa di rumah Dadang."

"Penjual sayur keliling?"

"Iya. Aku terpaksa. Masa aku taruh wanita itu di pos ronda."

"Benar juga."

Kafi tertawa, ia mengenang masa-masa bersama Furqon dulu. Mereka suka menghabiskan waktunya di pos ronda.

****
230323

Aisyah Kafi ( After Married 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang