Empat bulan kemudian
Angga sudah masuk sekolah seperti biasanya. Dia bersama Ben berjalan di koridor sekolah. Aku melihatnya dari jauh.
Seperti biasa dia selalu menjadi pusat perhatian para siswi di sekolah. Beberapa siswi tampaknya memberikan bingkisan kecil untuk Angga.
Dengan perasaan bahagia, disertai rasa percaya diri yang tinggi aku mendekati Angga untuk menyapa. Aku melupakan perkataan Ben, kalau dia lupa ingatan.
"Angga!" Panggil ku antusias. "Gue senang kalau Lo udah bisa sekolah lagi seperti biasa."
"Lo siapa?" Tanya Angga jutek.
Dam. Bagai di sambar petir, aku tidak bisa berkata apa-apa dengan kalimat Angga barusan. Hatiku sakit saat dia tidak mengenaliku.
"Ben dia siapa sih? Jadi cewek kok kecentilan bangat."
Ben yang paham situasi mencoba mencairkan suasana. "Oh Lo belum tau Nga? Dia Alea siswa pindahan. Dia teman sekelas kita bro."
"Oh. Siswa pindahan. Sorry ya gue ngak tahu."
Angga sangat dingin dan cuek. Mungkin pengaruh ingatannya hilang sehingga dia bersikap seperti itu.
"Ben cabut Yoh." Angga meninggalkan aku yang masih mematung di sana.
"Alea gue duluan ya."
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban sembari menatap punggung Angga yang mulai hilang.
Langkah kakiku terhenti saat melihat Angga merangkul seorang gadis. Begitu banyak perubahan pada dirinya. Sifatnya yang cuek dan dingin membuat kami begitu jauh.
****
Hari ini aku memutuskan untuk berziarah di makam Vino. Sudah setahun kepergian Vino meninggalkan kami. Aku tahu ini bukan pertama kalinya aku ziarah di sini, kalau bukan sama Bagas pasti aku di temani Angga. Tetapi hari ini aku memilih ziarah seorang diri.
"Lo ngapain di sini?" Tanya Angga kepadaku. "Lo budek apa gimana sih, orang bertanya kok ngak di jawab."
"Lo ngomong sama gue?"
"Gue ngomong sama batu."
"Oh! Gue pikir ngak ada manusia yang ngomong sama batu. Ternyata gue salah. Lo hebat bangat ya bisa ngomong sama batu." Ucapku sembari meninggalkan Angga.
"Gue baru ketemu cewek judes kayak gitu. Hanya cowok gila yang bisa suka sama gadis kayak gitu."
Usai dari makan vino aku menuju di salah satu taman. Tempat yang mengubah semuanya. Tempat kami di seret oleh Gibran dan Dina. Tempat terakhir yang membuat aku dan Angga menjadi seperti ini.
"Humm. Kalau dia tidak mengingatku setidaknya aku tidak bertemu dia." Ucapku seorang diri.
Aku membiarkan diriku seperti ini. Memejamkan mata sembari mengingat kenangan bersama Angga. Hujan-hujan. Hanya bisa ku kenang, tidak bisa ku ulangi kembali.
Seseorang memegang pundak ku. Aku yakin kalau itu Bagas. Dia biasanya mengikuti ku usai kejadian itu.
"Gue ngak kabur kok. Lo Tenang aja gue bakalan pulang. Tapi tolong biarkan aku seperti ini. Lima menit doang."
Tangan itu menjauh dari pundak ku. Saat membuka mata. Aku kaget bukan main.
"Lo?" Tanyaku dengan dari mengerut.
"Lo pikir gue hantu? Gue manusia kali."
"Ngapain Lo di sini?"
"Hei. Ini tempat umum. Bukan punya bokap Lo kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Temu
Fiksi RemajaAlea merupakan siswa baru yang pindahan karena beberapa hal yang harus ia hindari. Dirinya yang selalu tertimpa banyak masalah di sekolah lamanya dan berharap ia akan menemukan sekolah tanpa ada masalah sedikit pun. Dia bertemu dengan Angga sebagai...