"Dewanto! Harus berapa kali Ibu bilang, kamu sekolah itu minimal menghadap depan! Itu pesawat kamu enggak bakal jadi kalau kamunya enggak pintar!"
Dewanto; lelaki dengan umur lima belas itu tersentak dari acara desain pesawatnya itu. Pensilnya sampai jatuh dari genggamannya, ia melirik ke arah guru sejarah minat yang berkacak pinggang di depan kelas. Dewanto melirik ke sekeliling, melihat teman-temannya yang memandangnya penasaran padahal mengabaikan guru mengoceh di depan kelas sudah jadi kewajibannya. Dewanto itu-murid nakal, sepertinya.
"Kalau mau jadi pilot atau pembuat pesawat atau apalah yang ada di pikiranmu itu, paling tidak perhatikan guru yang sedang mengajar! Semua idola kamu itu belajar, Dewa!" tegur gurunya sekali lagi.
Dewanto dengan kuping yang mendengar gurunya itu, masih sempat mengambil pensil kesayangannya yang sudah seukuran kelingking dari lantai. Ia mengerjap polos selama guru sejarah minat ngoceh. Tapi nasihat dari guru itu hanya lewat saja, tidak ada yang menempel di dalam otak Dewanto yang penuh akan pesawat terbang.
"Sore ini Ibu serahkan kamu ke kepala sekolah! Biar tahu rasa kamu."
Detik kala mendengar keputusan sepihak dari guru sejarah minat itu, Dewanto membulatkan kedua matanya dan berdiri dari kursinya. "Ibu! Enggak bisa Bu! Saya ada acara pulang sekolah!"
"Alah, acara apa. Enggak ada penolakan! Kalau kamu berani berbuat, kamu juga harus berani bertanggung jawab atas perbuatanmu itu." Guru Sejarah Minat itu menggeleng angkuh seraya merapikan barang-barangnya dari atas meja guru. "Sudah, semuanya. Sekian untuk pelajaran siang hari ini, jangan lupa kerjakan tugasnya. Besok kamis kita cocokkan."
Maka, bel berdering begitu guru itu keluar dari kelas. Menutup suara Dewanto yang ingin mengejarnya untuk memohon agar tidak diserahkan ke ruangan kepala sekolah. Lagi.
Pernah, satu kali. Dewanto diseret ke ruangan kepala sekolah oleh guru Bahasa Indonesia. Kepala sekolah itu orang yang ramah. Tapi mengintimidasi. Ia paham betul apa yang diinginkan Dewanto, namun tidak akan memberikan apa yang diinginkan Dewanto semudah itu. Lalu dari jam tiga sore itu; pulangnya, telinga Dewanto membengkak karena mendengarkan cerita bijak dari kepala sekolah itu.
Makanya dia malas kalau harus ke ruangan kepala sekolah.
Pun karena tiap sore, Dewanto akan mengayuh sepedanya menuju bandara yang tak jauh dari rumahnya. Lalu memandang pesawat yang mendarat dan lepas landas dari sana. Itu kegiatan rutinnya sore hari. Dan tidak ada yang boleh mengganggu kegiatan rutin itu selain Ibunya!
Tapi Dewanto kena sial lagi karena ambisinya untuk membangun sebuah pesawat itu.
Sore itu, telinganya dijewer oleh guru sejarah minat—yang entah kenapa segalak itu-menuju ruang kepala sekolah. Di ruangan itu, terdapat kepala sekolah itu sendiri, dan beberapa wakilnya. Mereka tersenyum ke arah Dewanto dengan ramah. Tapi, Dewanto tahu. Itu bukan senyum menyambut.
Namun, senyum licik yang mematikan.
"Bagus sekali ya Bapak Ibu. Kebetulan Dewanto ada di sini, apa kita laksanakan saja? Operasi rencana kita yang baru ini?" tanya Kepala sekolah pada wakil-wakilnya. Sementara Bu Sejarah Minat sudah pergi dari tempat begitu diterimakasihi oleh Kesiswaan.
Dewanto dengan tas di pundak kanannya itu mendegup panik. Apalagi begitu kepala sekolah berjalan mendekat ke arahnya. Ia merentangkan kedua tangannya dengan ramah. Lalu membawa tangan kanannya itu untuk merangkul pundak Dewanto dan membawanya pergi dari sana.
Rupa-rupanya, Dewanto di bawa menuju sebuah ruangan yang sudah lama tidak dipakai. Dulunya, itu markas ekskul gothic. Isinya anak-anak yang tertarik dengan dunia mistis. Jarang ada yang berani masuk ke sana karena katanya, banyak hal-hal mistis yang masih tertinggal di sana. Ada barang-barangnya juga masih tersusun rapi di rak-rak bagian belakang kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kejar Matahari
Teen FictionBayangkan nilaimu jelek, lalu sekolah malah menghukummu dengan menjebloskanmu ke dalam sebuah kelompok belajar yang dipersiapkan untuk mengikuti olimpiade?! GIMANA DONG?! ORANG NILAI JELEK GINI KOK MALAH DISURUH IKUT OLIMPIADE, SIH?!