Bab 5 ; Pukul Enam-nya Kejar Matahari

10 1 0
                                    

"Hari ini jadi kabur nggak?" tanya Dewanto mengganti topik di antara mereka saat mereka akhirnya makan siang di kelas bersama.

Awalnya Daniyal tidak diperbolehkan memasak karena dia sudah menghabiskan banyak stamina di istirahat pertama, tapi Daniyal tetap bersikukuh untuk memasak dengan alasan bahwa memasak membantu mengembalikan staminanya. Wirya? Sedari tadi tidur. Pelajaran tidur, pindah kelas juga tidur.

"Aku ada firasat enggak enak, jujur. Kayaknya hari ini kesuksesan kaburnya 35%," jawab Rea di tengah kunyahannya.

Semenjak melihat seseorang yang pergi dengan Pak Mukidi tadi saat istirahat pertama, hati Rea gelisah. Padahal strategi kaburnya sudah matang ia buat semalam.

"Kenapa emangnya Rea?" tanya Daniyal kebingungan. Sementara tangannya membawa dua buah tepak. Satunya ia sodorkan dengan abai dan setengah ceroboh pada Wirya yang setengah mengantuk-setelah dibangunkan Rea untuk makan. Wirya menerima makanan dari Daniyal dengan gelagapan, awalnya mau marah tapi Rea sudah menarik kemejanya agar ia mau duduk kembali dan makan dengan tenang.

"Tadi habis kalian tanding, aku lihat ada kakak-kakak yang masuk ke ruangan Pak Mukidi. Jangan-jangan itu guru pendamping kita," ujar Rea sedikit berbisik. Arwa yang awalnya berbincang dengan Galen pun ikut diam untuk mengikuti topik antara tiga orang lainnya.

"Mungkin Ibu kantin yang baru?" tebak Dewanto berusaha berpikir positif.

"Kantin udah nggak mau nerima warung baru lagi Dewa," sergah Daniyal dengan gelengan.

"Oh gitu ya?" Dewa terkekeh tanpa dosa.

"Lagian cewek apa cowok emangnya?" tanya Daniyal pada Rea. Rea mendehum panjang kebingungan. Tapi ia berakhir mengendik. "Nggak begitu kelihatan kemarin. Tapi rambutnya panjang sih."

"Tapi kita tetap jalankan saja rencana kabur kita hari ini. Aku buat persentase keberhasilan kabur kita naik jadi 100%," ujar Rea dengan kepercayaan diri yang lebih dulu menjadi seratus persen. Rea mengangkat tangannya semangat dan mengerutkan keningnya yakin.

Semangat Rea itu disambut tepuk tangan dari teman-temannya. Bersorak-sorai mereka di tengah acara makan siang seperti sebuah keluarga. Hingga berdirilah Dewanto dengan tangan yang dijulurkan ke tengah. "Ayo gais kita tos dulu!"

"Maksudnya gambreng?" tanya Galen kebingungan.

"Iya apa pun lah! Biar keren dikit!" Dewanto terbahak.

Akhirnya semuanya ikut berdiri dan membawa tangan mereka untuk bersiap gambreng di atas meja. Saat semuanya sudah menjulurkan tangan mereka, Daniyal berkacak pinggang. "Apa nih kata-katanya?"

"Eh ... kita pakai yang sementara aja dulu? Nanti kalo udah nemu yang keren ganti lagi," usul Dewa canggung. Rea mengendik abai. "Yaudah, let's go with that. Mau apa gambrengnya?"

"Um ... Kejar Matahari! Solid, solid, solid?" tawar Dewa bingung.

"Yeah, okay. Kamu yang mulai ya." Rea mengangguk setuju. Yang lain juga ikut mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda setuju. Dewa pun mengendik dan mulai menjeritkan nama 'Kejar Matahari'. "Kejar Matahari!!!?"

"SOLID, SOLID, SOLID!!!"

---

"Aneh."

Wirya menggumam ketika mereka dalam perjalanan kabur dari tambahan seperti sebelumnya. Pak Toni tidak ada di taman, Bu Siti tak menghampiri mereka, Pak Mukidi tak muncul sama sekali di tengah perjalanan, atau Dewanto yang tidak membuat suara sedikit pun-yang satu ini pasti karena mulutnya dilakban.

"Yang aneh itu kau! Merunduklah Wirya!" titah Rea berbisik. Daniyal menoleh ke belakang punggungnya dengan mata memicing pula. "Sebaiknya kau turuti permintaan Nona Rea, Iko."

Kejar MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang