Bab 6 : 1000 Langkah Menuju Olimpiade

8 0 0
                                    

"Bosan banget ini bro."

Sore Rabu itu panas. Kemarin hujan lebat baru saja turun. Dewanto mengeluh kalau rumah dia hampir saja kena air banjir. Daniyal yang restorannya di dekat sungai cuma bisa diam. Walau sungai di bagiannya tidak meluap parah, jadi Daniyal dan restoran bapaknya masih terselamatkan. Kalau suatu hari nanti badai betul-betul datang ke daerah mereka, mungkin air laut yang memang sudah naik, bisa makin naik lagi. Dan rob akan melanda daerah mereka.

"Kamu semalam ngungsi?" tanya Rea pada Dewa yang sudah setengah meleleh di atas meja. Dewa menoleh. "Enggak ... udah mau masuk rumah airnya, tapi enggak jadi banjir cuy. Mungkin kalau lebih deres dari semalem, bisa aja ngungsi."

Yang lain mengangguk paham memahami pembicaraan Dewa. Lalu, Dewa menepuk tangannya bahagia. "Nanti kalau beneran ngungsi kita meet up ya gais!"

Karena pada dasarnya, kalau rumah Dewa sudah kebanjiran, yang lain punya kemungkinan untuk kena banjir juga. Wirya mengernyit, Daniyal menutup wajahnya horror. Sementara Rea menepuk punggung Dewa kencang. "Nggak usah doa yang aneh-aneh cok!"

"Aduh! Ya nggak usah nepuk punggung sekencang itu dong!" Dewa mengusap punggungnya diiringi kernyitan tidak suka pada wajahnya. Rea itu perempuan, tapi kalau dipanggil cantik nyolot. Kadang Dewa berpikir kalau di kehidupan sebelumnya, Rea itu seorang laki-laki. Tapi masih kebawa sampai sekarang. Entahlah.

"Lagian aku mana ada doa sih?!" Dewa mendesis tidak terima.

"Dewa, ucapan itu adalah doa," jelas Arwa dengan tenang. Dewa langsung mengangguk paham dengan polos. "Ooh...."

"Btw, mau berapa lama kita dibiarin belajar sendiri gini sih? Otakku udah mentok. Nggak kuat lagi," keluh Rea memijat kepalanya pelan. Galen mengangguk setuju. "Iya. Harusnya kita tetep didampingi, kalau kayak gini ceritanya gimana mau menang olimpiade?"

"Galen, itu sudut bibirmu kenapa?"

Lima anak kelas langsung memerhatikan sudut bibir Galen semenjak Wirya melontarkan pertanyaan itu.

"Iya Galen, sudut bibir kamu sobek, ya?" tanya Arwa khawatir.

"Hah? Nggak! Ini, cuma-kemarin, tiba-tiba aja, kayaknya aku panas dal-"

Di tengah jawaban terbata dari Galen, pintu kelas terbuka secara tiba-tiba. Di sana, hadirlah Bu Siti dengan senyum lebarnya. Dewa, Rea, Wirya, Daniyal, Arwa, dan Galen hanya bisa mengernyit kebingungan.

"Bu?" Dewa memanggil.

"Anak-anak!" Bu Siti tersenyum lebar sembari melangkah masuk ke dalam kelas. Bu Siti tersenyum terlalu lebar di sore panas ini. Itu membuat enam anak sakit kepala itu jadi makin sakit kepala.

"Ibu punya kabar baik!" seru Bu Siti dengan bahagia.

"Bentar, ini antara kabar baik di sisi kita atau sisi Bu Siti sih." Rea mengeluarkan pendapat. Dewa mengangguk setuju. "Iya Bu! Belum tentu kabar baik buat Ibu, kabar baik buat kita juga!"

"Udah dengerin aja dulu." Bu Siti mengibaskan tangannya abai. Maka anak-anak menuruti permintaan Bu Siti dengan baik. Bu Siti berdehum sebelum menepuk tangannya dengan kencang. Seisi kelas tersentak kaget.

"Kalian udah punya guru!" seru Bu Siti bahagia.

Namun, respon anak-anak adalah terdiam kebingungan.

Dewa bertanya, "Kita kan emang dasarnya udah punya guru-"

"Bukan! Guru! Guru les kalian! Guru yang dicari khusus untuk kalian!" seru Bu Siti memotong pertanyaan Dewa-berhubung ia sudah mengetahui ke arah mana Dewa akan bertanya.

Mendengar informasi itu membuat satu kelas terkejut dengan cara mereka masing-masing. Bahkan Wirya yang biasa tidur saja melek lebar. Melihat reaksi anak-anak itu membuat Bu Siti makin bahagia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kejar MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang