03. Memar Mendarah

946 55 0
                                    

Happy Reading <3

[An; Disclaimer dari awal kalau aku akan buat ceritanya maju mundur, ya. Jadi bakal banyak flashback di cerita kami. Terima kasih.]

Jakarta 2007

"Jam berapa sekarang? Ke mana aja kamu seharian, Naradipta?!" sang Ayah berdiri di depan pintu dengan sorot mata tajam menatap anak kecil yang tengah menunduk takut itu.

"Kamu bisu, Naradipta? Jawab Ayah!" sentak Nadeem. Hari ini ada jadwal les anak lelaki itu di tempat rekan kerja Nadeem, yang memang istri rekannya ini adalah seorang guru les private. Jadi Nadeem berinisiatif untuk memasukan putra semata wayangnya itu untuk mengikuti les tersebut. Namun, anak lelaki itu justru bermain di lapangan hingga lupa waktu. Membuat sang Ayah geram karena sudah dari siang Nadeem menunggu anak lelaki itu.

"Maaf, Ayah. Arga lupa," anak lelaki itu tetap pada posisi semula, menunduk takut.

"Ayah gak tanya kamu lupa apa nggak, Naradipta! Yang Ayah tanya, kamu dari mana aja seharian ini?!" nada pria itu naik.

"Main sama temen-temen, Yah. Tadi Niko ajak aku main di lapangan, main bola." Sahut Arga yang usianya masih 6 tahun itu.

"Main? Bisa-bisanya kamu main sementara Ayah nunggu kamu di rumah, buat pergi ke tempat les! Di mana otak kamu, Naradipta?! Bisa-bisanya kamu main, padahal kamu belum belajar hari ini?! Kamu memang harus dihukum biar nggak jadi anak bandel lagi! Ikut Ayah, Naradipta!" Nadeem menarik kuat tangan mungil itu.

"Ayah, jangan hukum, Arga. Arga gak mau dihukum, Yah!" anak lelaki itu menjerit sambil meronta-ronta agar sang Ayah mau mendengarnya. Namun sayang, Nadeem seakan tuli. Ia semakin mencengkeram pergelangan tangan Arga hingga kemerahan. "Mama, bantu Arga! Arga gak mau dihukum, Ayah."

"Diam kamu!" bentak Nadeem. Pria itu membawa Arga ke ruang makan, lalu mengambil sapu. Tanpa aba-aba, dipukulnya punggung kecil itu menggunakan gagang sapu.

"Ayah, punggung Arga sakit!" Arga meraung-raung saat benda itu menyentuh punggungnya. Rasanya begitu sakit dan linu. "Mama ...," lirih Arga disela tangisnya.

"Ini untuk kamu, anak bandel. Kamu tidak pernah mendengar ucapan orang tuamu! Ayah sudah bilang, jangan keluar rumah, tapi kamu malah main bola di lapangan. Merasa bangga kamu, huh?!" Nadeem melempar sapu itu ke sembarang arah. Lalu menekuk lututnya, "kamu gak boleh keluar rumah, gak perlu main sama temen-temen mu yang gak jelas itu! Tugas kamu hanya belajar dan belajar. Apa ucapan Ayah masih tidak kamu pahami juga?!"

Arga tak menjawab, punggungnya terasa memar dan perih. Tangisnya sesegukan.

Nadeem menggeplak mulut Arga dengan keras, "kamu masih punya mulut, kan, Naradipta?! Apa ucapan Ayah masih tidak kamu pahami, heh?"

Arga menggeleng, "nggak, Yah," sahutnya sambil menahan isak tangis.

"Sudah, jangan nangis. Anak lelaki cengeng sekali. Masuk ke kamar, mandi lalu belajar. Ayah akan buat soal untuk kamu. Cepat!"

Arga berdiri, walau sulit sekali. Kakinya lemas, punggungnya penuh memar. Arga berjalan terseok-seok sambil mengusap sisa air matanya.

"Jalan saja lama," gerutu Nadeem.

Anak lelaki itu masuk ke dalam kamarnya. Ia tak langsung mandi, melainkan duduk di atas ranjang tidur miliknya. Arga menyentuh punggungnya yang berdenyut perih sekali. Tulang belakangnya seakan ingin remuk. Arga menatap langit-langit kamar. Cairan bening mulai meluruh tanpa permisi, membasahi pipinya yang tampak tirus.

Your Eyes They LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang