•••
"Siapapun kamu, aku menyayangimu."
•••
Suara tik-tik dari keyboard yang Johnny tekan dengan jemarinya menghiasi malam yang sunyi itu. Jarum-jarum pada jam dinding yang mengawasinya sejak beberapa jam yang lalu kini sudah menunjukan pukul sebelas malam. Sesekali Johnny menghentikan aktifitasnya sejenak, sekedar memeriksa beberapa kata terakhir dari pekerjaannya lalu melanjutkannya. Sesekali pula ia merenggangkan badannya, memastikan bahwa otot-otot tubuhnya tidak terlalu kaku akibat duduk terlalu lama, lalu lanjut lagi. Terus berulang sampai Johnny terlupa pada eksistensi yang harusnya ia perhatikan.
"Papa."
Satu suara itu segera menghentikan jemari Johnny yang menari-nari di tombol-tombol laptopnya. Pria itu mendongak dan mendapati putri kecilnya dalam balutan gaun tidur pemberiannya, berdiri di ambang pintu ruang kerjanya.
"Papa kok gak tidur?" Tanya gadis kecil itu dengan suaranya yang menggemaskan. Johnny pun menerbitkan senyum penuh kasihnya yang selalu hadir setiap kali melihat anak itu.
"Papa masih ada kerjaan. Jina kenapa belum tidur? Besok 'kan Jina sekolah." Balas Johnny sambil terus tersenyum.
Jina, anak perempuan berusia 5 tahun dengan paras cantik, secantik ibunya itu, tidak menjawab. Hanya memberikan ekspresi tak terartikan sambil terus menatap papanya.
"Papa masih lama, ya?" Jina balik bertanya.
Johnny menegakkan punggungnya. Ia mengerti satu hal ketika anaknya melontarkan pertanyaan itu : Jina ingin ditemani. Jina bukan anak manja yang segala sesuatunya harus didampingi, dituruti, disediakan dan sebagainya meski memang diusianya masih banyak hal yang tidak mampu ia lakukan sendiri. Meski begitu, Johnny tahu betul kalau anaknya itu terkadang memerlukan perhatiannya. Sisi manjanya yang merupakan bagian dari sifat anak berusia lima tahun itu masih perlu perhatian khusus dari Johnny selaku orangtuanya.
"Adek mau Papa temani tidurnya?" Tanya Johnny dan rasa puas yang samar muncul dalan hatinya ketika Jina mengangguk sebagai jawaban.
Johnny melempar senyum maklum lalu bangkit berdiri. Jina, dengan langkah kaki kecilnya, menghampiri papanya. Ketika mereka sampai di hadapan masing-masing, Johnny mengangkat Jina dalam pelukannya dan menggendong gadis kecil itu menuju kamarnya yang berada tak jauh dari ruang kerja itu.
"Papa."
"Hm?"
"Dari tadi Papa kerja terus."
Johnny merasa seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya. Rasa bersalah. Anaknya pasti merasa kesepian karena pekerjaannya. Ia sendiri sebenarnya agak kesal karena seharusnya laporan itu bukan pekerjaannya. Tapi mau bagaimana lagi? Rekannya yang seharusnya membuat laporan itu mendadak izin cuti dalam seminggu ke depan. Alhasil Johnny harus mengerjakan bagiannya. Untung saja hal seperti ini sangat jarang terjadi. Sebab kalau terlalu sering atau bahkan menjadi kebiasaan, seperti misalnya karena orang-orang terlalu mengandalkannya, bisa-bisa percuma saja ia mendapat izin khusus untuk bisa bekerja dari rumah. Tujuan utamanya bekerja di rumah adalah agar bisa merawat, memantau, menemani, dan menjaga Jina dari dekat. Kalau ia malah lebih sibuk dari seharusnya, buat apa semua itu?
"Maafin Papa, ya? Khusus hari ini aja Papa gak bisa temenin adek tadi. Besok-besok, Papa bakal temenin adek lagi. Oke?"
Jina malah menggeleng, membuat Johnny bingung, ketika mereka kini sudah sampai di kamar Jina yang bercat dinding warna putih dan merah jambu.
KAMU SEDANG MEMBACA
K-POP IMAGINE [RF] •END•✓
Fanfiction"Aku gak mau ya pacaran sama orang gila." . "Aku, kan, gak cantik..." . "Kamu sok misterius!" . "Pukul aja aku, gapapa." . Iya, aku yang salah. Maaf, ya?" . "Ayah, ibu, maafkan aku." . "Aku punga permintaan," . "Karena kamu yang bikin aku nyaman...