06. Rutinitas
Adzan subuh berkumandang dengan begitu indahnya, melantun lembut menyusup masuk ke dalam rumah-rumah warga melalui celah-celah ventilasi. Suara panggilan itu membangunkan mereka yang masih terlelap dalam tidur nyenyak. Udara pagi yang sejuk ikut menemani denting suara adzan, membangkitkan kesadaran perlahan.
Habibie, yang sudah terjaga lebih dulu, menggulir roda kursinya perlahan, menuju jendela kamar. Ia membuka tirai, membiarkan cahaya lembut fajar menyusup masuk, menyapa ruang yang masih diselimuti kegelapan malam. Pandangannya terpaku pada langit yang mulai berubah warna, dari hitam pekat menjadi semburat jingga keemasan.
Segurat senyum halus terukir di bibir. Ia beralih menggerakkan kursinya menuju ke arah ranjang, di mana Khansa masih terbaring di atasnya. Dengan sentuhan lembut dipuncak kepala, Habibie berusaha untuk membangunnya. "Sa, ayo bangun, udah subuh." Bisiknya lirih, suaranya terdengar penuh dengan kelembutan.
Khansa menggeliat pelan, matanya masih setengah terpejam dan nyawanya belum terkumpul secara keseluruhan. Bukannya segera bangkit dari atas ranjang, perempuan itu malah beralih memiringkan tubuhnya menghadap Habibie, menyamankan posisinya pada tangan laki-laki lumpuh itu yang dijadikan bantalan kepala.
Habibie terkekeh kecil, "ayolah, Sa. Kamu udah ngelewatin sholat malam, tapi itu sebenarnya gak papa sih kan sunnah. Tapi ini sholat subuh yang hukumnya wajib, masa mau ditinggalkan juga?" candanya sembari menyisir rambut panjang Khansa yang tergerai menutupi separuh wajahnya.
Namun, tiba-tiba, kedua alis Khansa menukik tajam. Wajahnya yang semula cerah kembali meredup, dan tanpa diduga, ia meremas perut bawahnya dengan ekspresi menahan sakit, seperti nyeri haid yang datang mendadak. Habibie segera menyadari perubahan itu. "Sa, kamu kenapa? perut kamu sakit? kebanyakan makan sushi ya?" tanyanya penuh kekhawatiran, wajahnya yang tadi bercanda kini berubah serius.
Khansa menarik napas dalam, mencoba mengatur rasa sakit yang menusuk. "Sekarang tanggal berapa?" tanyanya pelan, sambil berusaha menahan rasa nyeri yang semakin kuat.
Sontak Habibie langsung menoleh ke samping kanan, menatap kalender kecil yang tersimpan rapi di atas nakas dekat jendela. Pandangannya cepat mengamati tanggal yang tertera sebelum kembali menatap Khansa dengan alis mengerut bingung. "Tanggal dua puluh delapan, kenapa emangnya?" tanyanya, bingung.
Perempuan itu menghela napas pelan, menahan rasa sakit yang semakin terasa. "Jadwalnya Khansa haid, Kak," jawabnya lemah, sambil berusaha memberikan senyum tipis di tengah rasa nyeri yang melanda perutnya.
Habibie akhirnya mengerti. Wajahnya yang semula bingung berubah penuh pengertian. "Owalah. Kamu biasanya memang ngerasain sakit kayak gini di hari pertama?" tanyanya lembut, sambil mendekatkan diri, mencoba memberi kenyamanan dengan sentuhannya. Khansa mengangguk pelan. "Iya, biasanya hari pertama memang begini," ucapnya pelan, sambil mengelus perut bawahnya yang terasa semakin nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 | The Cripple Is My Husband (HIATUS)
Spiritual[Cerita ini MURNI dari hasil PEMIKIRAN SAYA, TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN KEHIDUPAN ASLI TOKOH terhadap cerita ini] (Beberapa chapter sudah dihapus/tidak lengkap untuk kepentingan revisi, kemungkinan alur akan diubah) FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM...