Desperate
______________'Ah, sial sekali' batin pria paruh baya itu. Pikirannya sibuk memikirkan undangan acara yang sangat penting baginya. Pada pertemuan itu tentunya akan banyak politikus, pengusaha, artis dan berbagai macam orang penting lagi, sungguh dia senang dengan pencapaiannya hingga menjadi slaah satu yang mendapat undangan untuk menghadiri momen yang jarang ini. Namun, di sisi lain pikirannya sibuk berkecamuk. Masalah utamanya adalah pada anaknya. Mau ditaruh dimana mukanya jika saja Atsumu akan hilang kendali lagi? Saat itu orang-orang akan mengira-ngira jika anaknya atau sebenarnya memang benar buah hatinya itu mengidap penyakit mental, mau ditaruh dimana mukanya jika hal yang memalukan ini diketahui? Dan mungkin saja hal ini akan mempengaruhi para investor yang menaruh investasi di perusahannya, nilai sahamnya bisa turun.
Sementara Ayahnya berpikir keras Atsumu menghampirinya dengan senyuman lebar. Kali ini anak kecil itu tidak berpura-pura, Ia benar-benar sedang bahagia. Perlahan ia bisa mengatasi depresinya, dan baginya itu semua berkat Ayahnya. Ia membawa beberapa medali dan hasil nilai ujian akhir di tangan kecilnya itu, berjalan pelan ingin mengejutkan Ayahnya. 'Papa pasti bakal senang' pikirnya.
"Ah sial, harusnya aku bersungguh-sungguh mendapatkan hak asuh Osamu saat itu. Tidak ada gunanya merawat Atsumu, membuatku rugi saja"
Seketika harapannya sirna, senyuman tulus yang sudah lama tak nampak itu dengan cepat kembali menghilang dari wajahnya. Ia berbalik, mengubur dalam-dalam keinginan untuk menunjukan prestasinya pada Ayahnya. Dimana salahnya? Bukannya dirinya sudah cukup menghasilkan banyak prestasi? Bukannya dirinya sudah mendapat nilai A di semua pelajaran? Bukankah selama ini Ia sudah menurut dan tak pernah membantah? Lalu dimana letak kekurangannya? Apakah Ia sudah sangat tidak menarik untuk dimainkan?
Ibunya tidak menginginkannya, Adiknya meninggalkannya, sekarang Ayahnya juga? Lalu kemana ia dapat berteduh?
Atsumu dengan seksama melihat kembali nilai-nilainya, 'Apa masih kurang?' pikirnya.
Oh, mungkin karena dia tidak mendapat nilai sempurna? Sepertinya Ayahnya kecewa karena beberapa hanya mendapat nilai 98. Ah tapi tidak juga, dulu Osamu sering dipuji dan akan didekap dalam pelukan hangat walaupun tidak mendapat nilai sempurna. Oh! Atau karena dia hanya mendapat peringkat 2 di olimpiade sains? Ah tidak, bukan juga. Setelah lama mengira-ngira Atsumu menarik satu kesimpulan.
Selama ini Ayahnya memang tidak pernah menganggapnya. Ia hanyalah boneka usang yang tidak menarik bagi Ayahnya. Boneka rusak yang sudah tidak bisa dimainkan.
Mungkin saja Ia mengambil hak asuh dirinya hanya karena bagaimanapun juga Ia tetap memiliki darah Ayahnya.
Atsumu kembali ke kamarnya, menduduki kembali tempat belajarnya dengan air mata yang berjatuhan dari kedua manik coklatnya. Ia membuka beberapa buku baru yang memang sudah disiapkan Ayahnya untuk tingkat sekolah menengah nanti. Sebenarnya Ia bingung, untuk apa Ia belajar jika sebenarnya Ayahnya pun tidak pernah melihat ke arahnya? Ia tahu Ayahnya tidak menyayanginya, tapi Ia juga tidak ingin dibenci atau lebih parahnya lagi dibuang. Tapi sekarang dirinya sendiri pun mulai membenci dirinya. Tidak ada yang bisa dibanggakan darinya bagi Ayahnya, Ia ini tidak memiliki nilai menarik di mata Ayahnya, Ia hanyalah kegagalan. Bahkan Ibu dan adiknya pun meninggalkannya.
Lagi-lagi Atsumu mengulang terus pertanyaan itu di kepalanya 'Sebenarnya kenapa aku hidup? Untuk apa aku hidup?'. Terus berulang tidak ada habisnya.
Sepi. Tidak ada orang yang bersedia menangkapnya jika Ia terjatuh, dan kini Atsumu benar-benar terjatuh hingga titik terendahnya.
***
"Permisi tuan"
"Ya?" Jawabnya singkat tampa menengok ke pelayannya, Ia terlalu sibuk dengan dokumen-dokumen perusahaan yang perlu diurusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puppets
FanfictionLayaknya boneka yang dimainkan Begitulah bagaimana mereka mendeskripsikan kehidupan mereka Start : 11 November 2022 End :