Sadewa dan lukanya

25 7 0
                                    

Aku nggak pernah menuntut siapapun untuk selalu ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku nggak pernah menuntut siapapun untuk selalu ada

tapi bukan berarti kesepian bekerpanjangan yang harus terus aku terima

— Sadewa —

[•]

Sadewa POV

Umi Irma pernah bilang, aku tumbuh dengan wajah yang mirip sekali dengan Abang. Matanya, hidungnya, senyumannya, semua kayak abang katanya.

Tapi itu entah berapa tahun lalu, waktu aku masih di Jakarta dan masih bisa bolak-balik ke Cahya Insani tanpa berpikir perjalanan panjang yang akan aku tempuh. Jarak dari rumah waktu di Jakarta ke Cahya Insani cukup dekat, dari sekolah pun juga dekat. Naik angkot atau taksi bisa, naik ojol juga aku bisa, Abang Gavin udah ajarin cara pesan ojek online kalau sewaktu-waktu aku pulang sekolah nggak ada yang jemput. Tapi itu kan dulu, sekarang kehidupanku sudah beda lagi. Pindah ke Bandung dan harus berpisah dengan semua teman baik di sekolah lama, harus berpisah dengan Umi Irma dan pengurus yayasan yang lain, juga harus berpisah dengan semua teman-teman di Cahya Insani.

Aku berani bertaruh, kehidupanku sekarang memang jauh lebih baik dibanding dulu. Aku diadopsi kak Rhea dan abang Gavin untuk menjadi adik mereka setelah mereka menikah. Hal yang tidak pernah aku sangka, karena aku pikir kedua orang itu akan berakhir bahagia dengan pasangan mereka yang sebelumnya.

Kalian pasti sudah tau bahwa sedari aku kecil aku sudah akrab dengan kedua orang ini, dan juga satu perempuan cantik yang aku panggil kak Metta. Dulu mungkin aku memang cuma seorang balita kecil yang tidak pernah paham persoalan orang dewasa, tapi aku cukup mengerti bahwa kak Rhea milik abang Naresh, dan abang Gavin milik kak Metta.

Kematian abang menjadi pukulan hidup terhebat yang pernah aku rasakan. Ayah dan Bunda memang sudah lebih dulu pergi, tapi saat itu aku cuma seorang bayi mungil yang bahkan belum bisa melihat mereka dengan jelas. Sakit rasanya ditinggal kedua orang tua. Tapi ditinggal satu-satunya keluarga yang hanya kalian punya, ah... aku bahkan tidak tau harus menjelaskannya bagaimana.

Malam ini, waktu sudah menunjukkan hampir dini hari, tapi aku bisa mendengar suara langkah kaki kakak keluar rumah.

Ah, dia pergi lagi.

Aku belum tidur, hanya rebah saja dan memejamkan mata mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Aku sering sulit tidur kalau kakak atau abang belum pulang. Tidak tau kenapa, hanya saja sering kepikiran, apa mereka dalam bahaya? Kenapa sampai selarut ini belum juga ada di rumah? Apa mereka dihadang orang jahat? Atau dijalan kenapa-kenapa tapi tidak ada yang tau?

Aku selalu khawatir. Sejatinya mereka selalu bilang bahwa mereka baik-baik saja, kadang juga aku suruh mbak Sri menelpon abang ketika dia belum juga pulang, dan jawaban abang hanya lembur. Sudah jelas sebetulnya, tapi tidak melihat mereka di rumah adalah sebuah ketakutan yang cukup besar bagi diriku sendiri.

sebentar, masih banyak yang mau ku ceritakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang