Perihal dirimu dan Bandung;

231 41 43
                                    

Kala itu, Bandung memikat sunyi raga dan jiwa. Seperti yang dikatakan Martinus Antonius Wesselinus Brouwer, "Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum". Akupun tersenyum ketika memandangi setiap sudut kota yang penuh diskusi mengenai kerinduan itu. Perihal rindu yang tidak banyak dibicarakan, rasa rindu terhadap diri sendiri. Rindu pada diri yang jauh lebih percaya diri beberapa tahun yang lalu, rindu pada diri ketika masih kecil dan tidak memiliki masalah apapun, rindu pada kondisi yang dirasa lebih baik dari masa sekarang.

Kala dirimu sang tuan berjalan mendahului bayangan sepasang, aku terpapah melihat semesta yang sedang senang-senangnya bercerita tentang dirimu ya tuan, sang pemberi rasa. Aku jatuh hati pada caramu memanggil namaku, aku jatuh hati dengan bagaimana caramu mendeskripsikan harsa nabastala yang diam-diam gemar mencintaimu sama hal nya dengan diriku. "apakah mencintai selalu selelah ini?", batinku mulai bersuara, bergemuruh beradu dengan hatiku yang mulai rapuh.

Karena kau telah biarkan perasaanku pelan-pelan mulai terbunuh, sekarang aku tak punya lagi tempat untuk berlabuh, untuk mengadukan keluh. Aku tak punya lagi tempat untuk berteduh dari segala rindu yang bergemuruh. Lagi-lagi, Bandung yang harus menanggung semuanya. Seluruh rasa yang membuat pair jantungku, ya tuan. Berani-beraninya dirimu membuat diriku hancur, lucunya kau tanyakan lagi padaku "apakah dirimu belum cukup masalahnya?". Kau lebih dari cukup, dia saja yang tak sanggup.

Kau tau bahwa aku telah berkali-kali menulis hal yang sama tentang dirimu, di atas kertas yang sama, dan masih dengan harapan yang sama. Malam itu, langit Bandung dihiasi rintikan air hujan. Aku menatapi layar laptopku yang sedari tadi menyala dan sebentar lagi meredup mengisyaratkan bahwa harus ada kata yang aku lanjutkan. Kala itu, aku sedang bertukar pesan lewat email dengan Haikal, temanku semasa kami masih di taman kanak-kanak. Ia kini tak lagi di Bandung, beberapa waktu lalu ia memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta, "nyari suasana baru", konon.

"Udah ya Je, jangan kebanyakan nangis. Gue udah jauh nih, ga ada lagi yang bisa ngebujuk lo buat senyum ketika lo lagi sedih. Sedih boleh, tapi jangan kayak gini lah Je. Lo juga manusia kalo lo lupa. Nge-ekspresiin emosi itu wajar. Lo boleh tunjukkin perasaan lo tanpa harus ditahan. Lo mau marah, nangis, seneng sampe jingkrak-jingkrak juga...gak bakal ngerubah pandangan orang lain ke lo."

Aku sontak tertegun. Kalimat yang barusan kubaca seakan menamparku keras-keras. Haikal yang dulu memang kuakui sudah beranjak dewasa, seakan-akan sejak kecil ia selalu diajarkan tentang bagaimana menghadapi kerasnya semesta. Kalimat selanjutnya yang diketik oleh Haikal membuatku terdiam, ragaku menghilang sejenak dari sukma nya.

"Kalo dia gak pulang-pulang...Ya berarti bukan lo rumahnya. Sesederhana itu, okay?. Karena melepaskan dengan ikhlas diiringi selalu mendoakan yang terbaik untuk dia. Itu bentuk cinta yang paling tinggi stratanya. Ketulusan itu sendiri. Udah ya, Sampai ketemu kapan-kapan lagi."

Aku memang tak pernah salah untuk menempatkan Haikal sebagai rumahku, karena dengan eksistensi nya aku dapat perlahan bangkit untuk sadar bahwa pulang tidak harus selalu ke rumah yang sama. Setelah itu aku sadar bahwa banyak hal yang tanpa kita sadari dapat membunuh kita secara perlahan, bahwa hidup tidak selalu seperti apa yang kita mau.

Malam itu setelah selesai bertukar pesan dengan Haikal, aku berjanji pada Bandung dan diriku sendiri agar nanti, ketika dipagi hari aku terbangun, aku tidak lagi merasakan rasa sakit yang berkecamuk di dalam ragaku. Aku akan selalu berterimakasih kepada semesta, karena sudah mempertemukan aku dengan dirimu. Kita pernah menjadi pernah, sebelum akhirnya menemui akhir. Semesta, aku sayang dia, kagum tidak ada batasnya, berlebihan tapi nyata.

Hari ini apapun yang ada dipikirannya, siapa pun yang ada dihatinya, dan kemana pun langkahnya, restui ia, aku mau dia bahagia, walaupun bukan aku kebahagiaannya. Dan sudah, pada paragraf ini, aku mengikhlaskan mu.

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang