Eulogi

102 38 36
                                    

Gelabah berselindung bak bertandang dalam bhama yang laif. Duduk bersila diatas sofa, wajahku memandang langit jingga yang cerah tanpa payoda yang parasnya lesap bak binar yang pancakra.

Diriku tak habis pikir dengan lelaki yang duduk di sebelahku ini, ia sudah bertamu sejak pagi tadi. Sejak kejadian kemarin, rasanya.. untuk berjelajah keluar apartemen dengan kaki ku saja aku tak sanggup. Bukannya tak sanggup. Hanya saja, lelaki di sebelahku ini berhasil membuatku berdiam diri di kamar apartemenku hanya ditemani dengan secangkir teh hangat.

“Kamu tau darimana kalau aku lagi sedih?. I didn't even reach you out this eve” Aku memulai pembicaraan sambil menyeruput teh hangat ku yang sedari tadi ku genggam saja, aku belum sempat meminumnya. Perasaanku saat ini lumayan canggung hanya karena berhadapan dengan lelaki yang berada tepat di sebelahku.

Detik berlalu, jawaban tak kunjung datang dari lawan bicaraku. Aku menepuk pergelangan tangan lelaki tersebut. Lelaki itu berdeham, ia nampak tengah fokus membelai halus bulu anjing berwarna kuning ke-emasan milikku. Tentu saja itu anjingku. Anjing bertipe Golden Retriever bernama Michiko milikku itu sedari tadi sibuk bercengkrama dengan lelaki berkulit bak sarayu yang calak.

I don't know, Jean. Aku cuma pakai naluri. Naluri-ku kan kuat.” Lelaki itu kembali mengarahkan bola mata coklatnya kearah ku. Ah, aku yakin, mungkin kalian penasaran dengan nama lelaki ini. Ya, kan?. Maksudku– kenapa tidak?. Aku pikir dirinya cukup spesial untuk tidak ku sebutkan namanya sejak awal dan, mungkin saja kalian menaruh pikiran yang penuh dengan pertanyaan akan hal itu.

Adam, Julian Adam Alatas namanya. Dia adalah satu-satunya sahabatku sewaktu aku masih berada di masa SMP dan, ia adalah satu-satunya sahabat yang masih bertahan bahkan sampai umur-ku menginjak 19 tahun di buana dahayu yang jejal ini. Bagiku, ia begitu unik. Kurasa hanya untuk menjabarkan tentang dirinya, aku harus menyiapkan satu lembar kertas kosong untuk itu.

Aku meletakkan cangkir ku yang masih tersisa sedikit teh diatas meja berwarna coklat di sebelahku. Tidak ada percakapan lagi setelahnya diantara kami berdua. Lewat ekor mata, aku bisa melihat Adam yang kini sedang sibuk memperhatikan setiap halaman scrapbook milikku. Tidak lama memandanginya, ia kini merubah posisi duduknya dibawah sofa. Ia menaikkan kaki sebelah kirinya, yang satunya lagi ia biarkan lurus sejajar ke depan.

Kini posisi dudukku sama dengan Adam. Bedanya, aku menekuk kedua kakiku hingga aku bisa memeluk lutut ku sendiri. Berada disebelahnya, wajahku dan wajahnya menatap keatas langit yang terlihat dari jendela besar kamar apartemenku.

“The skies” Aku menunjuk ke arah bumantara yang berma bak ludrah. Menampilkan cakrawala yang berisikan pinar nan asmaradanta yang candrawarma.

“I knew, Jean. It's beautiful, isn't it?”. Ia menatap ke arah langit yang ku tunjuk. Tatapannya tak dapat dibohongi. Afsun nya nampak memancarkan buntara. Jelas, ia tengah jatuh cinta dengan langit yang ia pandangi sekarang.

Aku mengangguk ke arahnya. Kini, Adam merubah posisi duduknya sama denganku. Tangannya terlihat memeluk lututnya sambil mengusap-usap kan nya kearah kedua pergelangan tangan putihnya.

Swastamita sore hari ini mulai membawakan angin dinginnya. Adam yang terlihat memakai kaos hitam bergambar band lama, Nirvana dan celana jeans Levi's pun bisa merasakannya. Bagaimana dengan aku? yang hanya menggunakan celana pendek Cardinal berwarna abu-abu dan cropped cardigan lengan panjang berwarna hitam polos ditambah dengan kaus kaki putih yang panjangnya hanya se- mata kaki.

Angin lembayung Bandung.. apakah ia selalu begini? batinku mulai merapah, menilik tiap kata-kata yang mulai ber- fraksi dalam benakku. Wajahku masih menghadap ke arah jingga nya nabastala Bandung di sore hari. Kedua mataku tertutup, membiarkan wajahku terpapar angin. Perlahan, aku menghembuskan nafasku dengan lembut.

Ada banyak hal di dunia ini yang indahnya lebih dari apapun yang bisa aku deskripsikan. Yang bahkan indahnya lebih dari nama pemberian Oma- ku, Asmara Jeanne Marie. Atau bahkan yang indahnya lebih dari paras rupawan jalanan di sekitar Braga, Asia-Afrika dan lainnya yang tidak aku ketahui.

“I've never seen anything more beautiful like Bandung, Dam.” Wajahku masih terfokuskan pada langit jingga milik Bandung. Setelahnya, aku menatap ke arah wajah Adam yang nampaknya sedari tadi telah mengamati ku dengan bola mata coklatnya.

It's you, Jeanne. Butuh waktu berapa lama lagi untuk bikin kamu sadar kalau kamu itu cantik?.” Adam kini menatapku dengan wajah yang penuh dengan pertanyaan. Jujur saja, aku tidak mengerti. Bagaimana ia bisa membuat diriku bertanya-tanya sekarang? bahkan, ia menuntut sebuah jawaban dari diriku.

Tidak ada jawaban apapun dari mulutku, ia kembali terbungkam. Bukannya aku bingung harus menjawab apa, tapi- ah sudahlah. Adam memang selalu bisa membuatku terdiam hanya dengan kata-kata nya.

Setelahnya, netra kami berdua kembali menangkap langit Bandung. Lalu, ku dengar suara samar yang ku yakin berasal dari ucapan Adam.
“Mau dibandingin sama apapun yang ada di Bandung pun, aku yakin, kamu tetep jadi juaranya, Jean.”

Hari itu, aku habiskan waktuku bersama Adam. Di kamar apartemenku, dibawah pinar nabastala sore hari. Hari-hari yang berbeda ku rasakan tanpa pria-ku. Hari dimana, aku kembali tersenyum redum penuh dengan rahsa yang tersimpan, terkunci rapat di dalam dama ku. Dan lagi,
Ku serahkan semuanya pada Bandung. Segala rindu yang lara, serta perihal tangisanku yang sendu.

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang