Elegi yang Merapah

142 39 38
                                        

Aku suka bertanya-tanya tentang bagaimana jika luka adalah bahasa. Akan jadi seperti apa rupanya?

Matahari terbit dengan tak acuh, memberikan sinarnya yang elok menyilaukan pandangan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Matahari terbit dengan tak acuh, memberikan sinarnya yang elok menyilaukan pandangan mata. Aku terbangun dari tidurku yang tak juga nyenyak. Handphone ku sedari tadi mensinyalkan beberapa notifikasi dari pesan-pesan yang tak sempat kubaca semalam.

Je, gue tau kalo lo sekarang lagi nahan luka yang bener-bener sakit. gue juga paham gimana rasanya gak pernah selaras dengan ego dua insan yang sama kuat, tapi saling bertaut. Lo boleh egois Je, tapi dibalik keegoisan lo, jangan pernah libatin orang lain. Gue benci lo yang selalu aja begini tiap dapetin luka baru. Lo gak pernah mau lawan semuanya, sesekali luka yang dikasih sama semesta juga harus lo lawan. I believe that you can fight against the harshness of the universe Je.. even if you have to shed your tears, but i know that you can do it.

Pesan dari Tara, teman kecilku lagi-lagi berhasil membuat mataku berbinar. Mulutku penuh dengan kata-kata yang tak bisa kujabarkan, terbungkam seperti ditahan oleh tangan-tangan yang menarik segala perkataan yang akan dilontarkan oleh mulutku.

Bolehkah aku bersikap tidak adil sekarang? Kepada orang-orang yang, bahkan sama sekali tidak pernah merasakan eksistensi ku. Ingin sekali rasanya ku buang perasaan ini jauh-jauh, menghanyutkannya dan membiarkannya tenggelam ke dasar samudera. Jauh dari hiruk-pikuk manusia-manusia yang jahat.

"Can i feel life like i'm in a fairy tale? Struggled in the prologue then lived happily ever after and got my prince as my lover forever?"

Aku menatap wajah Tara yang entah sejak kapan muncul di apartemenku. Ah- tidak. Maksudku, aku hampir lupa kapan ia datang. Sejak aku tidak membalas pesannya, ia terlihat seperti khawatir. Ia selalu begitu. Katara Suzanne selalu begitu. Setidaknya ia membuatku merasa cukup untuk merasa bahwa I'm also a human being and I, deserve a life that's much more appropriate than what I get.

Tara beranjak dari tempat duduknya. Sedari tadi ia terlihat berada di sofa dekat tempat tidurku sambil menatapku dengan tatapannya yang khas. Ia bergegas menuju coffee maker machine yang berada di sudut ruang kamarku. Memberikanku space sejenak lalu tiba dengan segelas kopi espresso. Ia kembali menghampiri ku, namun kini ia memposisikan tubuhnya di samping ranjang tempat tidurku. Tara tersenyum, sungguh aku tidak bohong. Tara itu perempuan yang cantik. And that would be the one thing I'm jealous of.

Dia mengusap punggungku ku pelan. Sejenak, aku bisa merasakan hembusan nafas Tara. Ia meraih kedua pundak ku dengan kedua tangannya. "Jeanne. Liat gue sekarang. Coba lo liat jelas-jelas mata gue. Perhatiin setiap kata-kata gue, Je!". Tara mengguncang pelan tubuhku, otak ku mulai memberi signal untuk menatap wajah Tara. Tara tidak pernah se- tegas ini sebelumnya dan, ketika ia mulai untuk menjadi tegas, aku tau bahwa dia serius dalam setiap ucapannya.

"You know that, sometimes... there's nothing wrong with trying to live life like you never imagined before. However, we live in reality. At least that's what you should understand about the world. You can't force something that won't be in your favor, Jeanne.."

Detik-detik setelahnya, aku mengangkat wajahku yang sudah berlinang air mata dengan perlahan. Aku terisak, mataku merah akibat menahan air mata yang tidak ingin aku keluarkan. Pundak ku mulai bergetar, ku eratkan pelukan pada teman masa kecilku itu. Entah mengapa Tara is better at stringing words together than I am. She always managed to make my view of this dark and cruel life into something that could also be considered a fairy tale.

"Thanks, Tar" Aku menepuk-nepuk punggung Tara. Tara mulai menggoyangkan badan kami bersamaan ketika tangisanku semakin tak terkendali. "Thank you so much, Tar. Gue tau when we promised to link our little fingers together in childhood, I already know that you really deserve to be the rest of my bestest friend". Aku tidak mengerti, sungguh. Disaat aku terang-terangan membuat pernyataan tentang kejamnya dunia, mengapa aku tidak menyadari bahwa dunia sebetulnya tak sekejam itu?. Tara berhasil menjadi bukti nyata nya. Haikal, Tara. Ah, aku semakin membenci diriku yang terkadang naif begini.

Kini,
Lengkap sudah lirih rasa yang bergemuruh di dalam atma ku. Ia tidak lagi bercampur dengan pilu yang membiru, tidak. Kini, rasa itu menjadi sebuah ombak yang rasa-rasanya seperti melipat sebuah elegi yang merapah. Aku tersadar dari isakan tangisku, memandangi raga ku yang masih terjebak di dalam lugunya asmaraloka. Rasanya saat ini aku ingin mentertawakan diriku yang telah dibodohi oleh tipuan "rumah".

Aku sekarang tersadar bahwa, ada hal-hal yang terasa berat sekali untuk dilalui, tapi harus tetap dilalui. Terasa sulit sekali untuk diterima tapi harus tetap diterima. Hidup terkadang suka kelewatan dalam memberi sesuatu.

Saat itu pula aku tersadar untuk kesekian juta kalinya bahwasannya, aku akan selalu mencintaimu, sebagaimana tanah bumi yang tidak pernah membenci hujan.

“Aku akan selalu mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.”

— Sapardi Djoko Darmono

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang