10. Not a Drama

982 41 0
                                    

Malam yang penuh hangat, dimana semua keluarga sedang melakukan makan malam bersama. Termasuk didalam kediaman Lai. Semua keluarga Lqi sedang makan bersama dengan hening tanpa ada niatan ingin membuka suara, hanya ada detingan alat makan yang menjadi penghalau keheningan mereka.

"Jadi apa keputusan-mu?!" Tanya Pria paruh baya kepada anaknya yang tengah menatap dirinya, Lai Guanlin.

"Aku sudah bilang bukan, bahwa aku tidak ingin meneruskan perusahaanmu!" Kekeh Guanlin, yang terus menolak paksaan sang ayah.

"Kenapa? Kalau bukan kamu, siapa lagi? Kau anak aku satu-satunya kalau kau lupa." Peringat sang ayah.

"Ada Wooseok hyung!" Peringat balik Guanlin, akan anak lain dari ayahnya.

"Dia anak tiriku! Kau anak kandungku! Kau yang seharusnya meneruskan perusahaanku!" Balas Kris, sang ayah.

"Tapi aku tidak mau!" Kekeh Guanlin yang tetap terhadap pendiriannya. Bahwa dia tidak ingin meneruskan perusahaan kotor milik ayahnya ini.

"Lai Guanlin!" Sentak Kris, yang langsung memukul meja makan, karena sang anak yang terus menolak dirinya.

"Aku. Tidak. Mau." Tolak Guanlin, dengan penuh penekanan disetiap kata.

"Sayang." Peringat Victoria sang istri, kepada sang suaminya ini, agar suaminya tidak meledak didepan anak mereka.

Kris menggeram kesal, mengontrol emosinya agar tidak meledak didepan anaknya. "Oke, kalau kau tidak mau meneruskan perusahaan milikku. Kau harus menikah dengan wanita pilihanku." Ujar Kris memberikan pilihan kepada sang anak.

Guanlin langsung mengusapkan wajahnya penuh frustasi, lalu menghembuskan nafasnya kasar. "Kau gila?! Ini bukan jaman dahulu yang seenaknya menjodohkan anak! Aku tidak mau!" Tolak Guanlin, akan ide gila yang di berikan ayahnya.

"Kenapa? Apakah karena wanita kampus-mu?" Tanya Kris, yang langsung menampilkan seringaian di sudut bibirnya, menatap sang anak yang tengah memegang alat makannya dengan sangat kuat.

Guanlin yang mendengarnya pun langsung mencengkram pisau dan garpu yang ia pegang. Mengatur emosi serta memikirkan cara agar sang ayah tidak tau mengenai wanita mungilnya, Huang Renjun. Wanita yang menemani dirinya belakangan ini. "Apa maksud-mu? Wanita kampus mana?! Kau tidak usah belajar gila!" Ujar Guanlin, menaikan salah satu alisnya, membalas ucapan sang ayah.

Kris tersenyum, menaikan kedua alisnya lalu menyuruh salah satu maid mengambil sesuatu. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, ia langsung melemparkan amplop berwarna coklat dihadapan sang anao. "Huang Renjun, apakah itu belum cukup?" Ucap Kris, yang langsung tersenyum kemenangan menatap sang anak.

Sementara Guanlin langsung mengumpati sang ayah dalam hatinya. Mengapa ayahnya selalu tau apa yang ia lakukan. Namun ia tidak boleh lengah, ia harus memikirkan cara agar sang ayah tidak menyakiti perempuannya, lagi.

"Apakah kau tidak jera? Kau tau apa akibatnya apabila kau mendekati seorang perempuan tanpa sepengetahuan dan izin dariku." Ujar Kris.

"Kau pikir aku perduli? Ia hanya teman kampusku yang bodoh. Aku tidak memiliki perasaan terhadapnya. Aku bersamanya karena sering dikelompokkan oleh dosenku untuk mengejarkan tugas." Jujur Guanlin.

Yup, dirinya selalu dikelompokkan dengan Renjun, apabila mereka ada tugas yang diharuskan berkelompok. Tak jarang juga wanita itu yang meminta agar dirinya dikelompokkan dengan dirinya. Semua mahasiswa seperti tidak keberatan dengan usulan wanita mungil itu.

Lagipula siapa yang mau mendekati pria dingin macam dirinya? Terlebih status keluarganya yang membuat mereka berfikir seribu kali. Hanya orang bodoh seperti wanita itu yang mau mendekati dirinya, pikir semua mahasiswa.

"Benarkah?" Tanya Kris menatap remeh sang anak.

Guanlin langsung mengangguk, menatap sang ayah dengan penuh keyakinan. "Sungguh. Aku tidak memiliki perasaan apapun kepada orang lain semenjak kau membunuh kekasihku! Perasaan sayang, cinta dan lainnya hilang ketika kau menembakan peluru itu tepat di pelipis wanitaku dan tepat dihadapanku!" Ujar Guanlin, lalu pergi meninggalkan ruang makan.

Guanlin langsung bergegas, mengambil jaket serta kunci motornya. Menjalankan motornya diatas kecepatan rata-rata. Ia terus melajukan kecepatannya diatas rata-rata tanpa berniat untuk mengurangkannya.

Sungguh, ia sangat marah dan membenci Appanya. Kenangan itu seolah muncul lagi dipikirannya. Dimana sang ayah menembak kekasihnya tepat dihadapan dirinya, ketika ia mengumumkan kepada orang tuanya bahwa ia ingin menikah dengan wanitanya.  Semenjak itulah dia ini menjadi orang yang dingin dan tak tersentuh.

"Aaaaakkkk." Teriak seseorang, yang membuat dirinya harus membanting stirnya agar tidak menabrak orang itu.

*skritt, brak* Guanlin langsung terjatuh mencium aspal jalanan, ketika ulahnya. Ia juga langsung meringis kesakitan karena dengkul, dan sikunya bergesekan dengan aspal.

Wanita itu membelalakan matanya, memeriksa seluruh anggota tubuhnya sebelum matanya menangkap pengendara motor yang jatuh. "Kau tidak apa-apa? Apakah sakit? Kita kerumah sakit ya? Ap-- Alin?!" Pelik wanita itu.

"Alin, kamu gapapa? Aduh gimana ini! Aku gak bisa bawa motor, dan gak ada kendaraan lewat juga! Aduh!" Panik Renjun yang ingin pulang kerumah sehabis pergi dari supermarket.

"Pinggirin akunya dulu, bodoh!" Sarkas Guanlin, yang masih terkapar diatas aspal.

Renjun tersentak kaget dan langsung tersadar. Ia pun buru-buru memapah pria jangkung ini ke-tepi jalan. "Kita kerumah sakit ya? Tapi aku gabisa naik motor. Kita bersihin luka kamu dulu." Ujar Renjun, yang langsung membuka barang belanjaannya.

Decakan langsung mengeluar dari mulut Renjun. "Aku lupa beli peralatan p3k. Aku cuma ada air putih. Gapapa deh ya." Oceh Renjun, yang mulai membuka minumnya dan segera membersihkan luka pria jangkung ini.

"Kita ke hotel dulu aja ya. Kalo balik ke asrama kampus gak mungkin. Kajja!" Ajak Renjun, memapah pria jangkung ini menuju hotel yang tidak jauh dari tempatnya saat ini.

Sampai dihotel, ia segera mendudukkan Guanlin diruang tunggu, dan setelah itu ia segera memesan kamar.

"Maaf tapi kamar disini sudah dibooking semua. Hanya sisa satu kamar yang tersedia." Jelas Pelayan.

Renjun hanya bisa mendesah pasrah. Dengan sangat terpaksa ia mengambil kamar itu. Setelah membayar segala administrasi dan ketentuannya, ia kembali ke-Guanlin dan memapahnya menuju kamar 0707 dilantai 7.

*ting* lift terbuka, dengan segera ia menuju kamarnya. "Dimana kamarku?" Tanya Guanlin, begitu mereka sampai, namun tidak dihiraukan wanita mungil ini.

Renjun malah membawa pria jangkung ini masuk kedalam kamarnya. Mendudukkan pria ini disofa, lalu ia mengambil p3k yang tersedia dihotel. Membersihkan luka yang ada di siku seta dengkul secara telaten hingga bersih dan selesai.

"Sekarang, dimana kamarku?" Tanya Guanlin lagi, setelah wanita mungil ini telah selesai mengobati lukanya.

Renjun tersenyum. "Disini." Jawab Renjun seadanya.

Guanlin yang mendengarnya oun mendengus. "Tidak usah bercanda, Huang Lonjon! Dimana kamarku? Ini sudah malam dan aku mau tidur!" Pinta Guanlin.

"Renjun, dan ya! Memang kamar kamu tuh disini. Kamar diseluruh hotel penuh, hanya ada satu kamar yang tersisa." Jelas Renjun.

Lagi-lagi Guanlin terkekeh di buatnya. "Tidak usah membohongi diriku, Huang Renjun! Ini hotel ternama, disini banyak kamar! Tidak mungkin semua penuh!" Ujar Guanlin.

"Aku tidak berbohong!" Jujur Renjun, yang heran kenapa pria ini selalu tidak percaya dengan ucapannya.

Guanpin mendecak. "Ini pasti ulah-mu kan? Kau sengaja minta satu kamar saja! Plis Renjun, ini bukan drama korea yang hanya menyediakan satu kamar ketika seorang perempuan dan laki-laki sedang membutuhkan!" Tuduh Guanlin.

Renjun yang mendengarnya pun langsung membelalak tak percaya. "Aku tidak melakukan itu! Untuk apa?! Kalo kamu tidak percaya? Tanya saja sang receptionistnya!" Ujar Renjun

"Itu juga kalo kamu ini mampu berjalan!" Tambah Renjun, sebelum pergi meninggalkan pria jangkung yang sangat menyebalkan, sendiri di sofa.

"Renjun! Yak! Kenapa kau meninggalkanku?!" Teriak Guanlin, yang tak digubris wanita mungil itu.

MAYBE POSSIBLE - MARKHYUCK, NOMIN, GUANRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang