Rena baru saja menutup pintu kontrakannya ketika menyadari suara motor berhenti di depan rumahnya. Rena menoleh dan dilihatnya Zein melepas helm dan tersenyum.
Mata Rena membesar. Astaga, mau apa lagi orang ini pagi-pagi, sungutnya dalam hati. Gadis itu menghela nafas lalu melanjutkan aktifitasnya mengunci pintu. Bersikap tak peduli dengan kehadiran Zein. Tak ia pungkiri, kejadian semalam benar-benar membuatnya kesal. Bisa dibilang, saat itu juga rasa sukanya pada Zein mendadak lenyap. Peduli amat kalau kemarin ia sempat naksir tergila-gila.
"Pagi, Ren," sapa Zein. Tiba-tiba saja pria itu sudah ada di sampingnya.
Rena membalikkan badan, menatap Zein malas. "Ada perlu apa, Pak?" tanyanya datar.
Zein terkekeh, nampak tak peduli dengan kekesalan yang masih menggelayuti Rena. "Mau jemput kamu," jawab Zein.
"Nggak usah repot-repot," sahut Rena. Gadis itu melangkah menghindari Zein. Tapi Zein dengan cepat menarik lengan Rena pelan.
"Iih...apaan sih?" Rena menyentak lengannya. Rena cemberut melihat Zein. Matanya berkilat-kilat. Hanya menatap Zein sekilas lalu gadis itu melangkah. Kakinya sedikit menghentak ketika ia berbalik badan meninggalkan Zein.
"Eh, tunggu, Ren," panggil Zein sambil mengejar Rena. Langkah kakinya yang lebar membuatnya lebih mudah menyusul Rena, dan menghadang gadis itu.
Rena menatapnya galak.
"Wow...kamu makin cantik kalau marah," goda Zein membuat Rena melotot. "Ayo, berangkat. Saya sengaja jemput kamu pagi ini, biar kita bisa berangkat bareng," ujar Zein.
Rena memutar bola matanya. Astaga, orang ini! "Saya nggak pernah minta jemput. Dan saya nggak berminat berangkat bareng Bapak pagi ini, besok, lusa, dan seterusnya."
"Kamu masih marah soal semalam?" tanya Zein.
Mulut Rena menganga. Dia tak percaya bisa-bisanya Zein menanyakan hal bodoh seperti itu. Yang benar saja!
"Pertanyaan bodoh deh, Pak. Tanpa bertanya dan tanpa saya jawab seharusnya kau tahu," tukas Rena ketus. Zein menatap Rena. Semalam itu, bukan maksudnya mempermainkan Rena karena ia serius menginginkan Rena. Hanya saja mungkin ia terlalu cepat.
"Saya sudah terlambat, Pak. Mungkin sampai sini saja perkenalan kita. Selanjutnya, anggap saja kita memang tidak pernah kenal sebelumnya." Rena berucap lirih, lalu meninggalkan Zein.
Zein menarik lengan Rena. "Saya juga terlambat. Lagipula kamu nggak akan bisa mengejar Commuter 104 sekarang, kecuali kita berangkat bareng."
"Nggak apa-apa. Nggak usah, Pak."
"Kamu ikut, atau saya cium lagi?" Zein mengancam. Tubuhnya sudah tercondong ke depan wajah Rena.
Rena melotot tak percaya mendengar ancaman yang keluar dari mulut Zein. Kesal, akhirnya Rena memekik. "Hiiiiiiiiiiiiiiihhhhh!!!!" Kedua tangannya mengepal di sisi kepalanya. Kakinya sekali menghentak tanah saking kesal dengan tingkah Zein.
"Iya! Saya ikut, tapi jangan macam-macam!"
Zein tersenyum senang. "Satu macam saja kok. Boleh?"
Rena melotot lagi membuat Zein tergelak. Pria itu menuntun Rena mendekati motornya. Memakaikan helm di kepala Rena sebelum ia menaiki dan men-starter motornya. Zein menoleh ke belakang memastikan Rena sudah duduk di tempatnya.
"Pegangan ya, Sayang. Kita ngebut sedikit," kata Zein sebelum melajukan motornya dengan kencang. Membuat Rena mau tak mau memeluk tubuh Zein erat.
Jam 6.25 kedua orang itu berlari-lari menuruni tangga menuju peron 2 di mana Commuter 104 yang akan mereka naiki bersiap melaju. Keduanya melompat ke dalam gerbong, tepat seketika itu juga pintu gerbong menutup dan Commuter melaju.