Rena berjalan terburu-buru memasuki stasiun. Pagi yang menyebalkan seperti biasa dengan lalu lintas yang padat bergeming membuatnya harus turun dari bus di tengah jalan dan berjalan lebih jauh menuju stasiun. Gadis berambut lurus sebahu itu melihat arloji di tangannya dan segera mempercepat langkah ketika dilihatnya jam menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit. Sepuluh menit lagi Commuter Line yang dinaikinya berangkat sementara jarak ke stasiun masih lumayan jauh. Dan tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang.
Rena menangkap sesosok yang bergerak ke arah yang sama dengannya, mengendarai motor matic berwarna biru. Sosok itu adalah orang yang beberepa bulan ini berkeliaran di kepalanya dan membuat jantungnya berdegup tak karuan. Padahal orang itu hanya orang yang tidak dikenalnya sama sekali. Orang yang hanya ia lihat dan temui di Commuter Line setiap pagi dan sore, setiap hari kerja. Astaga, namanya saja ia tak tahu, tapi kenapa jantungnya selalu berdebar setiap kali bertemu atau melihatnya?
Rena makin mempercepat langkahnya karena melihat orang itu sudah memarkir motornya, dan berjalan menuju pintu masuk stasiun. Menaiki belasan anak tangga, mengantri karcis, dan kemudian turun tangga lagi menuju peron. Olahraga pagi, pikir Rena. Gadis itu melompat memasuki gerbong 5, gerbong di mana ia biasa duduk setiap harinya. Gerbong itu selalu berhenti tepat di dekat tangga peron stasiun tempatnya turun menuju kantornya. Rena menghembuskan nafas begitu duduk di tempatnya biasa, di depan pintu gerbong.
Dengan gelisah, sesekali Rena mencuri-curi pandang ke arah tangga. Setelah mengantri tiket tadi ia tidak melihat Si Matic. Begitulah ia menyebut pria yang membuat jantungnya selalu berdebar itu. ia mengedarkan pandangan ke seluruh pelataran peron, sejauh matanya bisa memandang, dan itu dia, pikirnya. Si Matic baru saja menuruni tangga. Dan seketika ia berdebar-debar. Salah tingkah, Rena merapikan rambut panjangnya dengan tangan. Menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya, sambil sesekali matanya menatap keluar.
Dilihatnya Si Matic berjalan melewati gerbongnya. Perawakannya tinggi sedang, rambutnya dipotong pendek rapi. Warna kulitnya termasuk putih untuk ukuran lelaki. Dan yang paling Rena suka dari penampilan Si Matic adalah hidungnya yang mancung. Usianya mungkin sekitar 33 tahun sampai 35 tahun. Rena memang tertarik dengan pria yang usianya sudah matang menjelang 40 tahun meskipun ia sendiri baru berusia 25 tahun. Yang makin menarik lagi bagi Rena adalah tahi lalat yang bertengger di dagu kiri Si Matic. Aaaaww.....ganteng!! pekik Rena dalam hati.
Rena masih sibuk menyisir rambutnya sambil memperhatikan langkah Si Maticitu, ketika sebuah tangan melambai di depannya. Rena menoleh. Dilihatnya Astri yang berdiri nyengir padanya. Astri sesekali menjadi teman seperjalanan Rena jika mereka tak sengaja bertemu di Commuter Line. Mereka bekerja di tempat yang berbeda, tetapi karena selalu naik di Commuter Line yang sama, dan kebetulan lagi mereka tinggal di daerah yang sama, mau tak mau keduanya menjadi akrab. Usia mereka sama, Rena hanya lebih tua beberapa minggu saja daripada Astri. Dan karena Astri tergila-gila dengan segala hal berbau Korea, ia memanggil Rena dengan sebutan 'eonni' yang merupakan panggilan untuk kakak perempuan.
"Pasti kau sedang mencari-cari Si Matic ya, Eonni?" goda Astri sambil menempatkan posisi di sebelah Rena yang otomatis tersipu. "Tuh, dia berdiri di situ," ujarnya sambil menunjuk ke arah orang yang dimaksud dengan dagunya.
"Sok tahu." Rena mencibir.
Astri terkekeh. "Percuma kau mengelak, Eonni. Aku sudah tahu segala macam ekspresi wajahmu beberapa bulan ini sejak kau tergila-gila dengan Si Matic itu. Jadi, kau sudah berkenalan dengannya belum? Ini sudah lama sekali, Eonni."
Rena menatap Astri ngeri "Memangnya aku punya keberanian dari mana sampai bisa berkenalan dengan dia?" keluhnya. Matanya kembali menatap keluar dan didapatinya Si Matic sedang berdiri tepat di depannya dan memandanginya. Raut wajahnya seakan sedang tersenyum dan berkata, aku tahu kau sedang memperhatikanku. Rena terpekur sesaat sebelum akhirnya menunduk mengalihkan pandangan dari mata Si Matic. Benarkah Si Matic tadi menatapnya dan tersenyum? Atau hanya dia yang terlalu percaya diri?