Love Train 12

44 3 0
                                    

Rena mengerjap-ngerjapkan matanya. Syok mendengar ucapan Zein. Menjalin hubungan? Menjalin hubungan serius? Emaaakk... Rena menjerit dalam hati. Salah dengarkah?

"Gimana?" tanya Zein. Rena kembali mengerjap-ngerjapkan matanya. Masih tidak siap dengan pernyataan yang dilontarkan dalam bentuk pertanyaan oleh Zein.

Zein terkekeh geli melihat reaksi ajaib Rena. Ia menunduk untuk menyembunyikan tawanya yang nyaris tidak bisa ditahan. Beberapa saat berusaha menahan tawa, pria itu kembali menatap Rena.

"Aku punya firasat kalau hubungan kita akan berhasil," tutur Zein. "Lagipula, sebelumnya kau adalah penggemar rahasiaku kan? Artinya kamu suka padaku. Aku juga suka. Makanya aku mendekatimu," lanjut Zein.

Rena tergeragap. Bola matanya mulai bergerak-gerak menghindari tatapan Zein dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Tapi pria itu justru mengeratkan genggamannya. Kini kedua tangan Rena ada dalam genggaman kuat Zein. Sedangkan tangan yang bebas mengangkat dagu Rena, memaksa gadis itu menatapnya.

"Kamu setuju kan, Ren?" Zein bertanya. Dan tatapannya mengintimidasi Rena.

"Eh...emm..." Rena menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha melepaskan wajahnya. Zein menurunkan tangannya dari dagu Rena tapi tetap menatap gadis itu lekat. Ia melihat wajah Rena mulai memerah. Zein mendekatkan wajahnya perlahan ke wajah Rena. Rena mengangkat wajahnya, membelalakkan mata melihat wajah Zein yang semakin dekat. Refleks Rena mengangkat satu kakinya dari posisi bersila, menendang perut Zein.

"Ugh!" Zein membungkuk, memegangi perutnya. Pun Rena yang juga langsung membungkuk karena perutnya masih kram.

"Rasain!" ketus Rena menahan nyeri di perutnya. "Aneh-aneh aja sih tingkahnya!"

Zein mendongak menatap Rena tak percaya. "Kamu nih...sebenernya perempuan bukan sih? Sakit tahu," keluhnya.

Rena ikut meringis. "Salahmu sendiri! Dan gara-gara kau juga kramku jadi kerasa lagi!"

Zein melupakan rasa sakitnya mendengar ocehan Rena. Ia menggeser duduknya ke sebelah Rena dan merangkul gadis itu.

"Maaf, maaf..." ia memohon lirih.

"Bapak nyebelin! Nyeri nih," gerutu Rena. Ia meringis sambil menekuk kedua lututnya. Zein menarik tubuh Rena merapat, merangkul gadis itu sambil mengusap-usap bahunya.

"Iya, maaf. Habis kamu sih..."

"Kenapa lagi aku?" tanya Rena sewot mendengar Zein tidak melanjutkan omongannya.

"Aku suka lihat kamu begini," aku Zein terus terang. "Baru kali ini juga kan aku lihat kamu pakai baju santai gini. Jadi ya... Yang tadi itu terlintas begitu aja."

Rena mencubit tangan Zein keras membuat pria itu mengaduh. "Aaakk...aaduhhh...aduh... Ampun, Ren..."

"Tuh rasain! Makanya jangan suka aneh-aneh deh. Orang lagi sakit juga, masih mau diserang juga. Heran," omel Rena. Ia sudah melepas cubitannya pada Zein.

Zein menatap Rena, tangannya berhenti mengusap bahu Rena. Rena yang menyadarinya mendongak dan matanya bertumbuk dengan tatapan Zein.

"Kenapa?" tanya Rena.

"Tunggu," kata Zein. "Tadi kamu bilang apa?"

Rena mengernyit. "Nggak bilang apa-apa."

"Itu...tadi kamu bilang, 'orang lagi sakit malah diserang'..."

Rena berdecak. "Ya iya. Orang lagi sakit malah curi-curi mau nyerang. Kesempatan dalam kesempitan banget sih. Kan terlalu namanya!" Gadis itu mengoceh kesal.

"Wah, ucapanmu ambigu," celetuk Zein.

"Apanya?" tanya Rena.

"Ya itu... Kalau begitu, kalau kamu lagi nggak sakit aku boleh nyerang dong?" ujar Zein yang langsung dijawab dengan cubitan Rena lagi di tangannya. Dan kali ini cubitannya tanpa ampun, membuat Zein kembali mengaduh-aduh.

"Aaakk... Aduh, duh... Adudududuh..." Zein meringis tapi Rena belum melepas cubitannya. Baru setelah Zein berseru ia melepas cubitannya yang membekas di tangan Zein.

"Rasain!" gumam Rena geram.

Zein meniup-niup tangannya yang merah dan terasa panas. "Yak ampun, Rena... Kamu perempuan bukan sih? Sadis banget..."

"Itu nggak sebanding dengan tingkah senonohmu," balas Rena sambil meringis juga. Ia memperbaiki posisinya menyandar di bahu Zein. "Kramku jadi kerasa juga nih. Aduh..."

"Huh...kamu ini. Memang nggak bisa apa semanis tadi malam waktu memintaku tinggal? Terus, kamu mau berbaring aja di kamar? Tadi udah minum obat belum?" Zein mengeluh tapi masih mengkhawatirkan kondisi Rena.

"Urusan semalam nggak ada hubungannya dengan sekarang. Lagipula, lupakan saja. Semalam saya cuma sedang nggak waras. Otak saya keseleo. Dan ya, sepertinya saya mau ke kamar aja," ujar Rena. Ia menjauh dari bahu Zein mencoba berdiri tapi perutnya terasa nyeri jika ia membungkuk untuk berdiri hingga akhirnya gadis itu terduduk lagi.

Zein menghela nafas. "Hhh...aku memang nggak bisa cuekin kamu, Ren," katanya. Pria itu berdiri lalu membungkuk untuk menggotong Rena ke kamar.

Zein membaringkan Rena pelan-pelan ke kasur. "Nah, apa kamu perlu minum obat lagi?" tanyanya. Ia mengusap wajah Rena. Rena menjawab dengan anggukan.

Zein mengambil obat dan menuang air ke gelas yang sudah disiapkan semalam di nakas tempat tidur Rena. Tanpa banyak cakap, ia membantu Rena meminum obatnya.

Rena memperhatikan Zein yang merapikan selimut untuknya. Zein yang menyadari tatapan Rena, menoleh padanya. "Kenapa? Kamu perlu apa lagi?" tanyanya.

Rena menggeleng sebagai jawaban. Tapi ia kembali menggenggam lengan baju Zein dengan erat. Saat ini sungguh ia tidak perlu apapun, tapi Zein. Zein memandang tangan Rena. Ia tersenyum mengerti lalu ditatapnya Rena dengan lembut.

"Jadi, tawaranku tadi... Soal hubungan kita, kamu setuju?" tanya Zein. Alih-alih menjawab, Rena tersenyum dan mengeratkan genggamannya pada Zein.

Zein merapikan anak rambut di kening Rena. Tersenyum pada gadis itu, lalu mencium keningnya lembut.

✿❁❀✿❁❀✿❁❀✿❁❀

Love TrainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang