BK-3

34 5 17
                                    

Aku tidak hidup, aku hanya bertahan hidup. - Bintang Sirius Alfa.

Selamat membaca...

🌠🌠🌠

Bukan hal yang mengejutkan jika kedatangan seorang Bintang Sirius Alfa selalu diikuti aura menakutkan di belakangnya. Jadi wajar saja jika sekarang Fadhel masih terpaku pada drummer-nya tanpa memperdulikan bahwa Bintang sedang menghancurkan beberapa barang studio mereka.

"BANGSAT!" Bintang membanting keyboard hingga patah berserakan di lantai. "Setelah selama ini enggak peduli gue ngapain, sekarang jadi ribut ngatur!"

"Ariel bisa ngamuk kalau tau keyboardnya lo ancurin kek gitu," seru Fadhel tanpa menghentikan tangannya memukul pelan drummer di depannya. "Enggak bisa gitu, Lo ngamuk di luar aja."

Bintang menginjak pecahan barang dan membanting dirinya ke sofa. Kegusarannya mungkin tercium ketempat Fadhel tanpa mengalihkan kefokusan nya bermain drum. Bunyi pukulan-pukulan kecil tak membuat Bintang terusik. "Kenapa lagi sih, bos?"

"Papah gue," Bintang mendengus, "Lo pikir aja, Papah menyuruh seseorang buat ngatur hidup gue. Dikira anak SD. Baru nyadar dia punya anak."

Fadhel terkekeh. "Lo emang perlu di atur buat ke jalan yang benar, Bin."

Sebuah bantal melayang tepat ke arah Fadhel. Membuat lelaki itu tergelak dan berdiri dari tempatnya. "Yaudah sih yah, gak usah diturutin kalo Lo gak mau."

"Yah jelas lah." Sahut Bintang meninggi. "Punya hak apa dia?"

"Sebenarnya gue juga heran, ngapain Lo ke kampus kalau masuk kelas aja gak pernah? Gue pikir-pikir juga semenjak kepindahan Lo kesini, Lo gak ada niat buat kuliah. Padahal sayang banget kuliah lo di Australi."

"Karena gue harus ngejaga apa yang harusnya jadi milik gue dari para penjilat. Yah tak perlu gue jabarin alasan gue balik kesini karena apa."

Jika sudah berbicara seserius itu, Fadhel hanya akan menutup mulutnya dan tidak lagi menyela. Pasalnya, Bintang sangat sensitif jika sudah berhubungan dengan keluarganya.

Pintu studio terbuka, diiringi dengan umpatan nyaring memekakkan telinga. "KEYBOARD GUE, ANJING!" Fadhel menoleh sembari terkekeh sedangkan Bintang tak repot sedikitpun membuka matanya.

"Kerjaan anak setan ini lagi nih pasti." Ariel mendekat. Sudah kesekian kalinya Bintang melampiaskan emosinya dengan menghancurkan barang. Tidak masalah jika itu miliknya, tapi Bintang cenderung tidak peduli barang siapa yang ia hancurkan.

"Entar gue ganti." Sahut Bintang bangkit dari posisinya. "Gue duluan, batalin semua undangan. Gue lagi malas manggung." 

"Kan! Kebiasaan seenak jidat." Ariel berdecak dengan tangan di pinggang. "Mana bisa di batalin, coba. Gue udah nyebarin tiket dan Acc semua undangan, tai!"

"Bisa aja." Bintang mengambil ransel dan rokok di atas meja. "Bilang, gue yang nyuruh."

Bintang lalu beranjak dan pergi meninggalkan kedua sahabatnya.

🌠🌠🌠

Dewi menyimpan gitar ke tempat semula. Tadinya Dewi memainkan gitar tersebut sambil menunggu kedatangan seseorang. Jam dinding di ruang musik ini sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Entah, maksud malam yang di katakan Bintang itu jam berapa. Yang pasti, Dewi sudah menunggu lelaki itu ketika hari berganti gelap. Namun sampai saat ini, Bintang belum juga datang.

Sebenarnya, Dewi juga sangsi jika Bintang akan benar-benar serius dengan ucapannya. Apalagi kemungkinan Bintang hanya mengerjainya hampir 93%.

Tapi masih ada 7% untuk berharap, bukan?

Bisa saja saat ini Dewi memilih untuk pergi. Bodo amatlah ketika lelaki itu datang dan tidak menemui dirinya disini. Akan tetapi Dewi berpikir. Dewi hanya tidak ingin terlalu berurusan dengan Bintang. Lelaki itu penuh dengan ancaman.

Dewi bukannya takut karena disiksa oleh lelaki kejam itu. Dengan sekuat tenaga Dewi akan membantu dirinya. Namun masalahnya, Dewi harus bertanggungjawab. Dengan cara mungkin akan  suka rela mengikuti apa yang lelaki itu inginkan. Selagi ia bisa melunaskan utangnya dengan segera.

Sebenarnya, boleh dibilang Dewi bisa hidup hanya mengandalkan beladirinya yang tak seberapa. Mungkin bisa saja Dewi akan kalah oleh siapapun yang berniat ingin mencelakainya. Seperti dirinya yang selamat dari kejadian penculikan tiga tahun yang lalu. Yang mengakibatkan dirinya bisu seperti sekarang karena di paksa meminum racun dan di cekik kuat. Untung saja saat itu ada seseorang yang berhasil membantunya. Dewi syukuri.

Dewi yakin, ada alasan dibalik semua yang terjadi. Ia sering menjadikan kebisuannya sebagai candaan bersama Tuhan. Jika kekurangannya ini bisa diberikan agar Dewi bisa bermanja-manja dalam do'a. Bisa terus mengingatnya, dan terus bergantung padanya.

Jadi, Dewi meyakini 7% nya pada Bintang dan tenggelam pada buku bacaan. Setidaknya ia bisa menghabiskan waktu belajar untuk jam kedepannya lagi sebelum Dewi memilih untuk pergi dan menemui Bintang esok nya.

Sunyi yang mendengung masih tampak nyaman ketika tiba-tiba saja ada suara terdengar dari luar. Membuat telinganya peka mendengarkan sunyi.

"Bintang?" Pikirnya ragu. Kenapa baru kepikiran oleh Dewi jika bisa saja jika Bintang tidak mungkin datang di jam yang sudah hampir tengah malam.

Dewi lalu memasang ancang-ancang dan berjalan menuju pintu. Mengintip keluar terlebih dahulu namun tak ada seorang pun di lorong.

Dewi menutup pintu dan kembali duduk. Kewaspadaannya kembali ia bentengi dengan kuat. Seharusnya ia tidak perlu menunggu lama seperti ini. Ia menghela napas lalu mulai membereskan buku-bukunya. Ketika ia mulai beranjak, dalam sekejap ruangan yang ditempatinya berubah gelap. Seluruh listrik padam.

Brak.

"Aaah!" Pekik Dewi tertahan. Punggungnya nyeri karena tendangan tiba-tiba dari belakang.

Ia tercekat. Memasang penglihatan pada gerakan bayang-bayang di depannya. Tapi keadaan gelap  diruangan ini sekarang membuatnya kalang kabut.

Dewi meraba ke samping. Berusaha fokus dan menghindari pukulan yang hendak menuju ke arahnya.

Perkelahian pun terjadi, namun mau berapa kali Dewi menghindar tetap saja pukulan mengenai dirinya hingga berakhir tersungkur dengan napas yang memburu.

Air matanya lalu jatuh sambil memegang dadanya yang sesak. Kepanikan menjalar keseluruhan tubuhnya. Kegelapan ini sebentar lagi akan membunuhnya. Putaran kejadian-kejadian di tiga tahun yang lalu berputar. Berhasil membasahi tubuh Dewi dengan keringat yang dingin.

Tak ada lagi serangan. Seseorang yang masih berdiri di kegelapan itu terpaku dengan kening yang samar-samar tercetak.

"Hanya begini kah kemampuan beladiri Lo?" Ucapnya dibarengi dengan sorot lampu cahaya dari Hpnya. Menerangi Dewi yang terduduk di lantai dengan pandangan menunduk.

Dewi terkejut. Ia sangat tidak menyangka jika yang menyerangnya barusan adalah Bintang. Namun rasa paniknya lebih mendalam dan mengabaikan cemoohan lelaki itu.

"Kupikir kejagoan Lo di hari itu akan lebih meningkat saat Lo melawan gue."

Dewi tak mengubris. Cukup baginya diam untuk mengatasi rasa sesaknya.

"Dewi?"

Tubuh Bintang kaku ketika perempuan di depannya kini berusaha meraih dirinya dan berakhir terisak di dadanya.

Dewi memeluk tubuh jangkung lelaki itu. Sesak di dadanya makin menjadi. Ingin sekali Dewi berkata dan berteriak agar lelaki ini membawa nya keluar dari ruangan segera. Ingin sekali Dewi berteriak bahwa kegelapan ini hampir membunuhnya.

Bingung dengan tingkah Dewi yang menunjuk ke arah pintu, hingga akhirnya Bintang paham. Ia pun dengan mudah membopong tubuh terkulai lemas Dewi dan membawanya ke tempat yang terang.

🌠🌠🌠

BINTANG KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang