Maria mengaduk-aduk jus buah naga miliknya. Menyeruputnya seraya menatap sosok pemuda, yang duduk di hadapannya dan sibuk dengan gawainya sendiri. "Jadi ... kenapa Fal bisa jadi sosok yang dingin dan selalu menghindari pertemanan?"
Abey mengangkat wajah. Mengerutkan dahi. "Putri Kecil gue enggak cerita ke lo?" Sebuah gelengan kepala dari Maria menjadi jawaban. Pemuda itu tersenyum dan memajukan tubuhnya sedikit. Mengacak lembut poni Maria. "Kalau gitu, gue juga enggak punya hak untuk cerita, Mar. Kalau Fal mau, dia pasti cerita sendiri kok."
Maria mengerucutkan sedikit bibirnya seraya merapikan poninya. Sesuatu menggelayuti pikirannya. Ingin bertanya tapi ragu. "Apa ... Fal punya trauma sampai dia jadi seperti sekarang?"
Abey terkekeh. "Kenapa lo berkesimpulan seperti itu? Padahal lo kenal Fal pun baru. Lo kan, enggak pernah tahu masa lalunya Fal." Pemuda itu kembali sibuk dengan gawainya.
Maria terdiam. Tak menjawab pertanyaan sekaligus pernyataan Abey. Huh, tapi perasaan aku bilang kalau Fal itu pernah dapat kejadian buruk di masa lalu makanya dia sekarang jadi gunung es.
...
Fal menatap kosong dinding bercat putih di hadapannya. Gadis itu duduk di tepi tempat tidur dengan pakaian acak-acakan. Kemeja kebesaran berwarna putih itu sudah tak jelas lagi bentuknya. Beberapa kancingnya terlepas, di beberapa bagian terlihat koyakan. Kemeja itu miring hingga menunjukkan bahu Fal. Tapi Fal seolah tak peduli dengan penampilannya yang kacau. Tak tergerak sedkitpun untuk sekadar membenahi letak pakaiannya.
Jejak air mata kering menghiasi wajah cantiknya. Seluruh tubuhnya nyeri. Beberapa lebam dan bercak merah keunguan menghiasi tubuh ringkihnya. Pergelangan tangannya pun membiru bekas cengkeraman.
Pandangan Fal beralih. Menyisir setiap sudut kamar. Seolah tengah mencari sesuatu. Gadis itu menghembus napas kasar saat tak menemukan apa yang dicarinya. Kamar itu memang kosong. Hanya ada ranjang berisikan kasur empuk di dalamnya. Satu-satunya tempat Fal untuk mengistirahatkan tubuhnya.
"Gue mau mati," keluhnya dengan nada lirih. Gadis itu menunduk. Air mata mulai menuruni pipi tirusnya lagi dan lagi. Fal menarik kedua kakinya, memeluk erat keduanya. Gadis itu kembali menangis hingga tubuhnya gemetar.
"Tolong bawa pergi gue dari sini. Gue takut. Atau bunuh gue. Hidup gue sudah enggak ada artinya lagi."
Brak.
Pintu kamar, yang terkunci dari luar, terbuka lebar dan sesosok pria masuk dengan wajah penuh senyuman.
Tanpa menoleh, Fal bergerak ke sudut tempat tidur. Tubuhnya kian gemetar. Tak ada niat untuk mengangkat wajah dan mencari tahu siapa, yang memasuki kamar terkutuk itu. Fal sudah bisa menebak siapa itu.
Sosok itu mendekat. Memeluk Fal, yang kian ketakutan. "Kamu enggak akan bisa pergi sampai aku sendiri yang lepasin kamu, Sayang," bisiknya lembut namun terdengar dingin penuh ancaman.
...
Fal menghela napas. Berusaha menenangkan diri juga meredakan gemetar, yang menyerang tubuhnya. Ketakutan itu mulai muncul dengan rasa panik mengiringi. Dikepalkannya telapak tangan dengan erat. "Tenang, Fal. Dia enggak sengaja kok megang tangan lo. Jangan takut," bisiknya pada diri sendiri. Namun justru rasa takut kian menjadi mengungkungnya. Kelebat bayangan masa lalu kembali muncul seolah menertawakannya.
"Fal ...," bisik Maria saat melihat Fal berdiri di ujung koridor dengan tubuh, yang jelas gemetar hebat dan raut wajah panik serta takut. Gadis itu bergerak cepat mendekat.
Maria meraih Fal ke dalam pelukannya begitu tiba di hadapan gadis berkemeja hitam itu. "Fal kenapa?" tanya Maria dengan nada lembut seraya mengusap punggung gadis dalam dekapannya.
Fal, yang terkejut nyaris berontak jika saja tak mendengar suara lembut dan usapan menenangkan di punggungnya. Gadis itu membalas pelukan Maria. Menyurukkan wajah ke bahu di hadapannya. Menangis. "Fal takut, Ma ...," rengeknya dan mempererat pelukan. Bahkan gadis itu meremas kain, yang menutupi pinggang Maria.
Maria mengerutkan dahi. Mama? Fal ngira aku mamanya? Usapannya berhenti sejenak. "Fal kenapa? Fal tenang, ya. Enggak ada yang bisa jahatin Fal kok." Maria kembali mengusap punggung gadis, yang lebih tinggi darinya itu.
Fal masih menangis, membasahi bahu Maria. "Tadi ada yang pegang tangan Fal. Takut."
Maria tertegun. Kamu sebenarnya kenapa, Fal? Kenapa kamu setakut ini hanya karena hal kecil? Tangannya kini menepuk punggung Fal dengan lembut. Membiarkan Fal terus merengek ketakutan dan berusaha menenangkan gadis itu.
Fal kembali tenang setelah berhasil menghentikan tangisannya. Dahinya berkerut menyadari tubuh, yang kini tengah dipeluknya, bukannya tubuh Sang Mamah. Dengan gerakan cepat diurainya pelukan. Mundur beberapa langkah. "Maria?" Menatap Maria dengan pandangan tak percaya.
Sial!!! Apa yang sudah lo lakukan, Faldhita? Lo mau Maria menjauh dari lo karena perlakuan aneh lo? Dasar bodoh!!!, maki Fal pada diri sendiri.
Maria menatap bingung. Gadis itu mendekati Fal, yang justru bergerak mundur dan menghindar. "Fal kenapa? Maaf aku tadi meluk Fal tanpa izin. Aku cuma mau nenangin Fal."
Fal menghela napas. Gadis itu menggeleng. "Terima kasih, Aryani Maria. Saya sudah merasa lebih baik. Saya ... saya tidak apa-apa."
Maria diam. Jawaban Fal seperti kode untuknya agar tak bertanya lebih lanjut. Gadis itu menghela napas. "Ya sudah, kalau Fal enggak kenapa-kenapa. Aku pulang duluan, ya. Aku ada urusan dengan Ayah. " Gadis itu tersenyum. Mendekati Fal kembali, mengulurkan tangan dan mengusap lembut surai hitam milik Fal. "Fal pulangnya hati-hati, ya. Jangan lupa ganti maskernya, masker Fal basah soalnya. Aku pulang dulu." Gadis itu kembali menarik tangannya dan berbalik, berjalan menjauh dari Faldhita Raditya.
Fal menghela napas. Gadis itu pun beranjak menuju toilet terdekat.
...
Fal menatap wajahnya, yang berbalut masker baru. Gadis itu menoleh ke arah lengan kirinya, yang tadi dengan tak sengaja dicekal salah satu teman satu jurusannya, yang nyaris terjatuh dan refleks menarik lengannya sebagai pegangan. Gadis itu menghela napas. "Jadi, gue harus bersyukur atau bagaimana?"
Wajah itu kembali menatap pantulannya di cermin. Fal menatap tajam bayangannya sendiri. "Hei, lo itu kenapa sih? Bisa-bisanya jantung lo berdebar cepat hanya karena perlakuan seorang gadis, yang baru lo kenal? Lo jatuh cinta sama itu cewek? Lo pindah haluan karena trauma dengan cowok? Jangan berbuat gila, Faldhita Raditya!!! Enggak semua orang bisa tulus menjalin hubungan dengan lo!!!"
Fal menghembuskan napas kasar. Bayangan buruk kembali berputar dalam benaknya. "Lo harus lebih berhati-hati, Fal. Jangan sampai lo hancurin diri lo untuk kedua kalinya. Jangan jadi orang bodoh."
Fal menghela napas dan beranjak dari toilet, yang kebetulan sepi itu.
...
Maria menopang dagu di meja kasir. Gadis itu setengah melamun. Pikirannya terjebak di waktu Fal merengek ketakutan, membuatnya berdecak kesal. "Hih, kok jadi penasaran sih? Fal itu kenapa sih? Masa sih ada orang yang setakut itu cuma gara-gara tangannya dipegang?" gerutunya. Jemari tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja. Kembali berdecak kesal.
"Kenapa sih kamu? Dari tadi ngedumel sendiri."
Maria menoleh ke arah sumber suara. Menatap malas Egha, sepupunya, yang sering menemani di toko barang antik milik ayahnya. "Enggak kok. Lagi kesal sekaligus penasaran sama seseorang." Diubahnya posisi. Kali ini gadis itu bersedekap dengan wajah cemberut.
Egha tertawa. "Jangan terlalu penasaran dengan orang lain, Mar. Bukan hanya nantinya kamu dikira terlalu ingin tahu urusan orang lain tapi bisa juga ada kemungkinan, kamu justru jadi jatuh cinta sama orang itu."
Maria memutar bola matanya. "Teori macam apa itu. Enggak usah mikir aneh-aneh. Aku tuh penasaran sama teman cewekku, masa iya aku jadi jatuh cnta sama cewek."
Egha tersenyum. "Cinta itu buta, Mar. Dia bisa jatuh ke hati siapa saja tanpa kenal apa itu jenis kelamin, umur, warna kulit dan hal lainnya."
Maria hanya terdiam. Tak berniat menanggapi pernyataan sepupunya itu.
...
Selamat membaca!!!
Jangan lupa voment!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Faldhita (GxG Story)
Romance"Seharusnya hidupku berjalan senormal yang lain, tapi mereka membuatku memilih jalan yang berbeda." Faldhita Raditya