60 | Tatap Muka

699 136 41
                                    

Terbangun dalam keadaan mulut kering dan ingin memuntahkan semua isi perut terasa normal bagi Jena akhir-akhir ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terbangun dalam keadaan mulut kering dan ingin memuntahkan semua isi perut terasa normal bagi Jena akhir-akhir ini. Sayangnya, tak ada satu pun orang di rumah itu yang tahu kalau dirinya sedang hamil. Dia bungkam. Apalagi setelah Julian menyatakan ingin mengakhiri kontrak pernikahan mereka. Jena merasa, Julian tak perlu mengetahui kalau dia akan menjadi ayah dari janin yang dikandung Jena. Entah apa yang menjadi jalan pikirannya, tapi dia tak ingin Julian tahu dengan sebuah alasan.

Sudah satu minggu sejak Julian menyatakan dirinya ingin mengakhiri kontrak dengan Jena, tapi belum ada surat yang datang untuk Jena tandatangani, sepertinya Julian terlalu sibuk akhir-akhir ini. Sibuk dengan urusan kantornya, sibuk dengan Zeline. Entahlah, Jena sudah tak ingin tahu lagi.

Jena mengelap bibirnya dan merasa lega ketika seluruh cairan berhasil ia muntahkan pagi itu. Dia keluar dari kamarnya, berjalan ke arah ruang makan dengan santai seperti tak terjadi apa-apa. Dilihatnya Imah sedang menyiapkan segala makanan di atas meja untuk sarapan seluruh penghuni rumah itu.

"Buat apa nyiapin makanan banyak-banyak kalau pak Adi dan Julian nggak di rumah?" gumam Jena pelan.

Iya, sejak kepulangan Zeline ke negara ini, Julian jarang sekali menampakkan hidungnya di rumah itu. Jena tahu di mana Julian, dan mudah saja bagi Jena menerkanya, jika Nurdin tak mengembalikan mobil Julian ke rumah itu, pasti Julian di apartemennya.

"Neng Jena, belum rapih-rapih, biasanya pagi-pagi udah pake baju kerja?"

"Sekarang 'kan sabtu Bu Imah," jawab Jena.

"Oh iya, aduh bu Imah udah tua, Neng. Sampe lupa ini hari apa."

Jena tersenyum. "Bu Imah nggak keliatan tua kok," kata Jena menenangkan.

"Bisa aja Neng Jena, ini teh angetnya Neng." Imah menyerahkan secangkir teh hangat ke hadapan Jena.

"Bu Imah, aku teh angetnya nggak usah, lagi nggak minum teh."

"Lho, kenapa?"

"Enggak apa-apa, lagi nggak mau." Jena tersenyum simpul.

"Oh, ya udah ini teh angetnya buat bu Imah aja. Mau minum yang anget-anget lainnya nggak?"

Jena menggeleng. "Cukup air putih aja Bu Imah."

"Baik."

"Makasih banyak ya Bu Imah."

"Sama-sama. Dihabisin sarapannya, ini ada bubur kacang ijo, nasi goreng, lontong sayur."

"Masak sebanyak ini siapa yang habisin Bu Imah? Kan nggak ada siapa-siapa cuma saya."

"Ada Bapak, semalem pulang. Terus mas Satya juga numpang nginep," terang Imah.

"Julian?" Jena ingin tahu.

"Kata Nurdin ada Neng, semalem pulang."

Jena memiringkan kepalanya. "Oh, ada bapaknya aja dia pulang," bisiknya pelan.

The Secret of J [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang