"Boleh kupakai selimutmu?" tanya Ryan tiba-tiba seraya membuat Joe menoleh.
"Kau kedinginan? Apa kau demam?" tanya Joe seraya mengangkat tangannya hendak menyentuh dahi Ryan. Namun ia urungkan.
Selain bibir yang biru dan kulit pucat akibat kedinginan, Ryan perlu menutupi tubuhnya. Ia tidak biasa mengenakan kaus pendek selain di rumahnya. Sebenarnya, ia ingin kembali ke rumah secepat mungkin. Namun, entah bagaimana ia pun ingin bersama gadis mungil di sampingnya itu.
"Tidak, aku hanya butuh selimut," jawab Ryan kikuk.
"Tanganmu, kenapa ini?" tanya Joe seraya meraih lengan Ryan. Entah bagaimana ia lupa bahwa seharusnya tidak menyentuh pria itu sembarangan.
Ryan buru-buru menepis tangan Joe. Joe tersentak kaget dan diam seketika sementara film masih tayang.
Tepat ketika Ryan hendak bicara, Joe berdiri. Gadis itu diam beberapa detik di posisinya, lalu ia berjalan keluar kamar tanpa bicara sepatah kata pun.
Ryan menunggu dan terus menunggu. Ia tidak ingin permintaan maafnya sia-sia. Tentu saja percuma saja kalau pada akhirnya mereka akan bertengkar kembali. Namun, akhirnya Joe kembali. Hanya saja, tanpa tangan kosong.
Ia meletakkan sebuah keranjang berisi dua botol whisky dan dua gelas mini berbahan kaca. Ia tak melirik ke arah Ryan sekali pun. Bahkan, ketika Ryan terus memperhatikannya.
"Maaf. Aku tidak bermaksud kasar. Ini luka bakar saat aku kecil. Aku tidak pernah menunjukkannya pada siapa pun. Aku malu dan selalu mengenakan pakaian panjang," ujar Ryan pada akhirnya meskipun terbata-bata.
Joe yang terlanjur kecewa hanya mengangguk-angguk. Ia tak melirik ke arah Ryan sekali pun, yang dilakukannya hanya meminum segelas whisky yang baru saja ia tuang.
"Joanne," panggil Ryan pelan.
"Hm?" sahut Joe setengah menahan kesal. Kini, tegukan dari gelas keduanya.
"Bisa kau melihatku?!" tanya Ryan setengah membentak.
Joe akhirnya menatap Ryan dengan mata berkaca-kaca dan wajah kemerahan, entah karena emosional atau efek dari minumannya. Kini, Ryan kembali merasa bersalah. Ia menahan napas di dadanya yang sesak. Sungguh ia tidak bermaksud seperti itu.
"Maafkan aku," ujar Ryan tulus.
"Kau bicara terus, katanya mau menonton film!" gerutu Joe seraya mengalihkan pandangannya lagi.
Ryan kini duduk menghadap Joe. Ia melipat kedua kakinya yang dingin di ranjang, sepertinya ia tidak tertarik untuk menonton film. Selain karena bukan genre kesukaannya, memang karena Ryan hanya butuh waktu lebih lama bersama gadis mungil di hadapannya sekarang.
Sementara Ryan sibuk menatap Joe. Gadis itu justru dengan setengah mabuk berhasil menghabiskan gelas whisky pertamanya.
"Sudah cukup, Joanne!" ujar Ryan meraih gelas Joe.
"Kadar toleransiku tinggi," sahut Joe cengengesan sambil menahan gelasnya.
Ryan menarik paksa hingga gelas terlepas dari tangan Joe. Lalu, Ryan meletakkannya sembarang ke lantai.
Joe melirik sekilas ke arah pria di sampingnya. Ia tidak banyak bicara dan hanya menghela napas pasrah. Bau alkohol menyeruak ke seisi kamar. Namun, Ryan berhasil tahan untuk itu.
Alhasil, mereka pun terus berlanjut menonton tanpa ada yang bicara sedikit pun hingga penghujung film. Joe meluruskan punggungnya ketika adegan yang tidak diduga muncul. Ciuman manis antara pemeran utama tanpa sadar bibirnya tersenyum tipis.
Di sisi lain, gadis itu tampak gugup dan memegangi alas duduknya sekarang. Ia pun menelan ludah. Sesaat ia memberanikan diri menoleh ke arah Ryan. Namun, sesuatu tidak terduga. Ternyata Ryan tertidur, entah sudah berapa lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovely Complex (ONGOING)
Romance🇺🇸 🇺🇸 Ryan, pria paling pendiam dan tidak punya teman itu mau tidak mau setuju menjadi kekasih pura-pura Joe dengan sedikit ancaman. Joe yang sakit hati hanya ingin membalas dendam pada mantan kekasihnya, Ben, melalui Ryan. Namun, ia tidak tahu...