Fal duduk di lantai kamar dengan punggung bersandar pada tempat tidur. Pandangannya tertuju lekat pada sudut hitam. Gadis itu menghela napas. "Trauma gue belum hilang sepenuhnya. Bahkan sentuhan kecil pun berefek besar sampai gue hilang kendali. Lo benar-benar buat malu, Fal."
Pikirannya melayang ke kejadian di koridor tadi siang. Gadis itu tersenyum kecut. "Selamat!!! Lo sudah mengacaukan semuanya!!! Siap-siap dijauhi lagi, Faldhita Raditya!!!"
Fal menghela napas. Memejamkan kedua matanya. Berusaha mengurai bayangan buruk akan hubungannya dengan Maria.
...
Duk.
Fal, yang berjalan dengan kepala tertunduk, seketika mendongkak seraya mengusap kepala belakangnya. Gadis itu berbalik dan menatap kosong sebuah kaleng minuman bersoda, yang tergeletak di lantai. Gadis itu menghela napas. Tersenyum kecut. "Enggak apa-apa, Fal. Lo harus mulai terbiasa dengan hal ini. Sabar, ya. Tinggal beberapa bulan lagi kok," bisiknya pada diri sendiri. Gadis itu kembali berbalik dan meneruskan langkahnya.
"Hei, manusia enggak tahu malu, lo kok bisa sih masih berani sekolah?"
Fal kembali menghentikan langkahnya. Kembali berbalik dan menatap sesosok gadis, yang baru saja mengatainya. "Karena saya punya hak untuk tetap bersekolah, Sin." Ditatapnya gerombolan Sinta, yang dulu jadi teman akrabnya.
Kedua mata Fal terbelalak saat mendapati Anya berada di antara mereka. Gadis itu menghela napas lalu tersenyum tipis. Tanpa menunggu respon Sinta, dilangkahkannya kaki setengah berlari. Mengubah tujuannya, gadis itu melangkah cepat menuju perpustakaan.
...
Fal mendengus. Dadanya sesak saat kembali teringat akan sosok Anya, yang dulu pernah berjanji akan selalu ada untuknya tapi kenyataannya berbeda. Sahabatnya itu justru berdiri sejajar dengan para perundungnya. "Gue semenjijikkan itu, ya? Sampai Anya pun menjauh."
Tok ... Tok ... Tok ....
Pintu kamar terbuka, sesosok wanita dewasa berwajah teduh masuk. Menghela napas berat saat melihat putri tunggalnya, yang duduk bersandar seraya menatap sudut hitam. Sesak menyiksa pernapasannya, karena harus menahan tangis. Putrinya kembali seperti beberapa waktu yang lalu, padahal baru kemarin gadis itu bercerita tentang kebahagiaanya bisa menyentuh Abey tanpa rasa takut.
Fal jelas mendengar suara ketukan pintu, pintu yang terbuka dan tertutup kembali serta langkah kaki yang mendekat, namun gadis itu merasa enggan untuk menoleh. "Fal mau sendiri, Mam," ujarnya dengan nada dingin.
Amira menghela napas panjang. Tak dihiraukannya ucapan putrinya itu. "Kamu kenapa, Fal? Cerita dong kalau kamu kenapa-kenapa. Mama khawatir, Sayang. Dari siang tadi, kamu enggak keluar dari kamar loh."
"Fal enggak kenapa-kenapa kok. Fal cuma mau sendiri. Boleh kan, Mam?" Fal menjawab tanpa menoleh sedikitpun ke arah Sang Ibu.
Amira kembali menghela napas namun tetap mengangguk dan melangkah keluar dari kamar anak gadisnya. Membiarkan putrinya menyendiri.
...
"Pagi, Fal ...." Maria menyapa Fal, yang sudah terlebih dahulu tiba di kelas. Gadis itu melambaikan tangan penuh semangat. Senyuman lebar menghiasi wajahnya.
Fal, yang tengah menunduk, menolehkan wajah sekilas lalu kembali menunduk tanpa membalas sapaan Maria.
"Eh?? Kok dicuekin?" bisik Maria pada diri sendiri demi mendapati respon dingin Fal, yang seolah-olah tak mengenalnya. "Fal kenapa lagi sih?" Gadis itu duduk di kursinya, tepat di depan Fal. Sesekali menoleh ke arah Fal, yang tetap terlihat cuek. "Apa Fal marah gara-gara kemarin aku peluk, ya?"
...
"Fal kenapa sih? Fal marah sama aku?" Maria bertanya begitu mendudukkan dirinya di sebelah Fal. Mereka kini berada di kantin. Gadis mungil itu sengaja mengikuti Fal, berniat meminta penjelasan akan keacuhan Fal.
Fal berdecak kesal. Ditatapnya tajam gadis di sebelahnya. "Kenapa terus mengikutu saya sih? Apa kamu tidak punya kerjaan lain? Kenapa sih kamu senang sekali berdekatan dengan saya? Kamu suka saya? Mau deketin saya?" tanya Fal setengah menggeram. Berusaha untuk menahan diri agar tak berteriak dan memancing perhatian orang-orang.
Maria tertegun. Tak menyangka Fal akan berkata seperti itu. Gadis itu menelan ludah. "Eng ... enggak kok, kan aku sudah bilang, aku tuh mau berteman dengan Fal. Kalau Fal enggak suka, aku bisa kok jauhin Fal. Maaf, ya, aku sudah ganggu Fal." Gadis itu menunduk. Kedua matanya terasa memanas. Sedikit banyak, ucapan Fal melukai hatinya.
Fal menghela napas. Ada rasa sesal dalam hatinya begitu melihat gadis di hadapannya menunduk. Maaf, Mar. Ketakutan gue ternyata berdampak sebesar ini. Gue cuma takut kalau lo jijik dengan gue dan akhirnya gue harus kehilangan lagi orang, yang gue anggap teman.
Tanpa sadar Fal menggerakkan tangannya untuk mengusap lembut surai hitam milik Maria. "Maaf ...," ujarnya lirih lalu bangkit setelah menarik kembali tangannya, berlalu begitu saja dari hadapan Maria.
...
Abey berdecak kesal. Ya, pemuda itu memperhatikan dari jarak yang cukup jauh. Tanpa mendengar langsung ucapan apa, yang dilontarkan Fal, pemuda itu yakin sahabatnya itu tengah membentak Maria.
"Lo mulai lagi, Fal. Mau sampai kapan lo ngikutin rasa takut lo?"
Pemuda itu beranjak dan mendekati Maria, yang masih tertunduk. Terdengar isakan pelan. Ya, gadis itu menangis. "Maria ...," panggilnya dengan nada lembut dan duduk di tepat di sebelah gadis berkemeja putih itu.
Maria mengusap air matanya sebelum mengangkat kepala. Tersenyum terpaksa. Hidungnya memerah begitu pula kedua matanya, yang selalu bersinar polos itu. "Eh, Abey. Mau makan, ya?" sapanya dengan suara serak.
Abey tersenyum. Mengusap lembut rambut Maria, yang terikat rapi. "Enggak. Gue ke sini mau demo kenaikan harga telur ayam," jawabnya santai.
Maria terkekeh. Menertawakan pertanyaan bodohnya dan jawaban asal Abey.
"Maafin Fal, ya. Dia kalau lagi kumat memang suka begitu tapi nanti dia juga baik sendiri kok." Abey masih terus mengusap rambut Maria. Berusaha menenangkan sosok mungil itu.
Brak.
"Kalau mau pacaran jangan di sini!!!" sindir Fal, yang baru saja kembali setelah membeli sebotol air mineral untuk Maria. Gadis bermata tajam itu menatap keduanya dengan tatapan dingin.
Abey menarik tangannya. Memelototi sahabatnya. "Ngagetin saja sih. Gue pikir satpol pp."
Fal mendengus. Pandangannya beralih, fokus menatap Maria, yang kembali menunduk. Tapi kedua matanya sempat menangkap wajah memerah dan mata sembap Maria. Disodorkannya botol air mineral ke hadapan Maria. "Minum ini. Jangan cengeng jadi cewek. Baru saya bentak begitu saja langsung nangis."
Abey menatap tak percaya. "Lo benaran Faldhita Raditya, kan? Bukan kuntilanak yang nyamar jadi Putri Kecil gue?"
Fal menoleh dan menatap malas ke arah Abey. "Bukan. Gue genderuwo penunggu pohon cabe di kebun Pak RT," jawabnya tak kalah asal.
Maria tertawa mendengar percakapan sepasang sahabat itu. Diliriknya Fal, wajahnya mendadak terasa panas. Gadis itu segera membuka tutup botol dan menenggak isinya. Berusaha tak menatap Fal.
Fal menatap kembali Maria. Jelas dirasanya, deburan jantung yang kian cepat. Gadis itu menghela napas. Kenapa lagi sih, Fal? Jangan bilang lo benaran suka sama Maria? Lo bakalan makin terlihat aneh, Falditha.
Abey sebagai saksi mata, hanya diam seraya tersenyum melihat drama kecil di hadapannya. "Kayaknya nonton drama sambil ngopi terus ngemil enak nih," ujarnya tanpa diduga, membuat kedua gadis itu menoleh dan menatapnya bingung.
...
SELAMAT MEMBACA!!!
JANGAN LUPA VOMEN!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Faldhita (GxG Story)
Romance"Seharusnya hidupku berjalan senormal yang lain, tapi mereka membuatku memilih jalan yang berbeda." Faldhita Raditya