4//Protes

51 10 2
                                    

Kalau saja kemarin Herlan tidak impulsif hanya karena paksaan Jaya, mungkin perasaannya akan tetap tenang dan biasa saja. Tapi ide gila dan kedua sahabatnya itu mampu membujuknya hingga mampu menyetujui tawaran gila milik Jaya. 

Sebuah perusahaan marketing yang dikelolanya ramai. Wajar, waktu sudah menunjukkan pukul delapan yang berarti semua karyawan sedang bekerja di tempatnya masing-masing. 

Herlan datang dengan raut wajah tegas. Mungkin, Ayahnya itu benar-benar mempercayakan perusahaan pada Herlan karena wajahnya yang tegas akan membuat orang-orang segan padanya. Karena hal itu benar-benar terjadi, begitu Herlan berjalan menuju lift untuk menuju ruangannya. Semua kepala tertunduk walau dengan sapaan yang dibalas anggukan kepala oleh Herlan. Padahal, Herlan itu tidak gila hormat. Sungguh. 

Sampai di lantai 5, Herlan mulai berjalan menuju sebuah ruangan yang bersebelahan dengan ruangannya. Ruangan itu tersusun kaca agar Jaya bisa melihat dengan jelas siapa yang datang menemui Herlan. 

Herlan membuka pintu kaca itu kasar hingga membuat Jaya tersentak. Jaya menatapnya sedikit takut, apalagi kali ini tatapan Herlan padanya benar-benar menunjukkan jika dirinya sedang tak bisa menahan emosi. 

"Pak … ada yang bisa say –"

"Gak usah basa-basi. Maksud lo apa sih, Jay?"

Jaya mengerutkan kening. Ia tak mengerti dengan pertanyaan Herlan yang diajukan padanya. Jaya menghampiri Herlan yang dengan sangat tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya di ambang pintu. Jaya jelas merasa cemas, tidak biasanya Herlan sampai begitu di hadapannya. 

"Lan …,"

"Jay … lo tahu 'kan gue punya trauma sama cewek rambut panjang. Kenapa, Jay? Kenapa?"

Jaya dengan begitu hati-hati mengangkat tubuh Herlan dan mendudukkannya di sofa tempat tamu menunggu jika sedang ada keperluan dengan Herlan. 

"Lan, maaf. Maafin gue. Gue cuma mau lo gak kewalahan," tutur Jaya begitu pelan. 

Tubuh Herlan bergetar hebat, membuat Jaya merasa bersalah karena membuat trauma yang dimiliki Herlan muncul kembali. Jaya menepuk jidatnya begitu keras. Bodoh. Jaya merutuki dirinya sendiri, kenapa ia bisa begitu bodoh? Bahkan, Herlan tak pernah menumbuhkan rambut milik Qyu begitu panjang. Bahkan, Ibu Herlan bahkan selalu memotong rambutnya jika sudah dirasa panjang. Tapi kenapa, kenapa Jaya yang hanya sahabatnya itu dengan sangat berani mempertemukan Herlan dengan seorang perempuan yang membuat traumanya menjadi?

"Lan …,"

"Gue gak apa-apa, kok. Agak panik aja. Sama kaget karena tiba-tiba dia ada di unit gue. Kayaknya Qyu buka pintu pas dia ngebel," ucapnya dengan tubuh yang mulai berhenti bergetar. Keringat yang membasahi pelipisnya ia usap dengan kasar. 

"Jay … kalau ada apa-apa dan gue gak sanggup. Tolong buat back up gue dulu ya, soal Qyu. Gue –"

Jaya menyanggahnya dengan anggukan kepala yang langsung membuat Herlan menghentikan ucapannya. 

"Lo tenang aja. Gue bakalan pantau Qyu kemanapun Qyu pergi sama cewek itu. Lo tenang aja. Lo kerja aja biar bisa gaji tuh cewek. Oke?"

Herlan mengangguk sembari tersenyum. Kecemasan yang dirasakan oleh Jaya seketika memudar. Ia ikut tersenyum setelahnya. Apalagi saat Herlan kini bangkit dan berjalan memasuki ruangannya. 

Begitu pintu ruangan itu tertutup, Jaya yang masih berdiri di tempatnya menghela napas lega. 

"Semoga ini titik baik ya, Lan," lirihnya. 

___

Keberadaan Qeela di unit Herlan sebetulnya membuatnya agak bingung. Apalagi Qyu yang sedari tadi hanya mengacak-ngacak mainannya. Qyu bahkan tampak sekali tak peduli akan atensinya yang berada di sebelahnya. Sudah Qeela ajak bicara, namun anak itu tak menjawab. Sekalipun menjawab hanya sebuah deheman singkat yang membuat Qeela menghela napasnya. Ternyata mengasuh anak Herlan itu tidak semudah yang dibayangkan. 

"Qyu … kok kamu mainnya sendiri?" 

Qeela mulai protes—tak mau jika dirinya dicap sebagai pegawai yang memakan gaji buta. Hanya menatap Qyu menurutnya itu bukan bekerja. Kalau hanya seperti itu, Herlan bisa saja memasang cctv dan memantaunya di kantornya. 

Qyu menatap Qeela kebingungan. Sampai akhirnya Qyu menepuk jidatnya. 

"Kakak maaf. Qyu lupa kalau ada Kakak," ucapnya. 

Qeela terkekeh walau dirinya merasa bingung. Bagaimana ya … maksudnya itu 'kan sedari tadi dirinya menemani Qyu. Masa anak itu melupakan atensinya begitu saja. Dan setelah diingatkan langsung menyadarinya. Qeela terheran-heran akan hal itu. 

Qyu menghampiri Qeela yang terduduk di atas karpet. Keningnya berkerut hingga kemudian ia tersenyum lebar saat Qyu duduk di atas pangkuannya. Kedua tangannya melingkari leher Qeela dengan wajah yang menyandar pada dadanya. 

Qeela terkekeh gemas dengan menggerakan tubuh Qyu ke kanan dan ke kiri. 

"Qyu laper, Kakak."

"Oh, Qyu mau makan apa, hm?"

Qyu menatap Qeela dengan penuh antusias. 

"Kakak bisa masak?"

Qeela dengan cepat menganggukan kepala. "Bisa, dong. Qyu mau Kakak masakin?"

Qyu mengangguk penuh semangat. "Mawu … Qyu mau mac cis," ucapnya. 

Qeela tampak berpikir sesaat sampai akhirnya ia mengerti dengan yang diucapkan oleh Qyu. Qeela kini menggendong Qyu ke dapur dan mendudukkannya di salah satu kursi khusus untuknya. 

"Qyu tunggu disini, ya? Kakak masak dulu."

Qyu kini melihat Qeela yang membuka kulkas dan membawa bahan untuk membuat makanan yang diinginkannya. Qeela tentu saja antusias karena Qyu terus memperhatikannya. 

"Qyu tahu gak, Kakak tuh awalnya gak diizinin jadi tetangganya Qyu," ucap Qeela. 

"Kenapa?"

"Karena … Kakak juga gak tahu. Tapi Papap Kakak tuh posesif banget."

Qyu terkekeh menimpalinya. "Sama kayak Yayah."

"Oh ya?"

"Iya, Kakak. Qyu juga awalnya gak boleh ditemenin Kakak. Tapi Om Jayaw keren," ujarnya begitu senang. 

"Qyu deket banget sama Om Jaya, ya?" 

"Soalnya Om Jayaw baik banget."

Qeela tersenyum simpul begitu mendengarnya. 

"Kalau Kakak baik, berarti Qyu juga mau deket sama Kakak."

Anggukan kepala dari Qyu membuat Qeela tak bisa melunturkan senyum lebarnya. Ia senang, walau sebetulnya agak merepotkan menjaga Qyu yang sedang aktif-aktifnya. Qeela tetap senang karena bisa bersamanya. 

Begitu mac and cheese yang dibuat oleh Qeela telah siap. Qeela menaruhnya di meja dan langsung diapresiasi dengan tepuk tangan Qyu yang begitu antusias. 

"Makannya Kakak suapin, ya?"

Qyu mengangguk. Ia langsung membuka mulutnya yang membuat Qeela terkekeh semakin gemas. 

Kedekatan keduanya berjalan dengan baik walau harus berawal dengan protesan Qeela yang diabaikan. Qyu juga tampak sekali nyaman dengan kehadiran Qeela di sisinya.
Entah darimana asalnya, Qyu bisa merasakan ada getaran aneh setiap kali Qeela memeluknya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SADAJIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang