Chapter 41

358 27 1
                                    

Rasanya menyenangkan punya orang di sekitarmu yang bisa mendapat informasi yang paling kau butuhkan, tapi akan jadi masalah kalau kau yang pertama merasa canggung. Aku mendongak melihat gedung tinggi tak berujung berkat langit yang gelap, lalu bangkit dari pagar tempatku menyandarkan pinggang. Pukul 11:55. Rasa kantuk merayap. Aku berkendara pagi-pagi, berhenti di perusahaan film di pagi hari, dan syuting di studio di siang hari. Dan aku bertemu Myungshin.

Saat aku melihat mobil-mobil yang memasuki gedung diam-diam untuk waktu yang lama, aku kehilangan konsentrasi karena lelah. Aku memutuskan mengambil cara yang lebih mudah saat mataku cukup membengkak sehingga berpikir aku kehilangan mobil. Tidak ada kartu untuk melewati gerbang utama, tapi penjagaan parkiran bawah tanah agak buruk.

Perlahan bersembunyi dalam kegelapan, aku melewati penjaga yang teralihkan oleh TV, dan pergi ke parkiran bawah tanah. Itu seperti terowongan yang membelok dan berliku tanpa akhir. Mungkin karena bau unik dan dingin dari basement, aku merasa seperti sedang berjalan ke kuburan untuk sesaat. Tapi tak lama, mobil memenuhi basement dan aku berdiri sejenak dan melihat sekitar, lalu berjalan ke lobiy.

Saat aku menekan nomor lantai di lift, aku ingat rumah si orgil yang telah kudatangi sebelumnya. Langsung pergi ke kiri setelah keluar. Pagar besi kelabu dengan garis-garis di bawah. Sebagai bentuk kesopanan, aku membunyikan bel sekali, bersandar ke pagar dan duduk dengan lutut ditekuk. Aku mengeluarkan ponsel untuk mengecek apakah ada telepon, tapi tidak ada missed call atau pun pesan.

Aku sudah menghubungi dan mengirim pesan berkata, 'Apa kau sibuk?' Yang perlu kulakukan hanyalah menunggu. Aku dengar dia untuk beberapa saat ini tidak pergi ke Alice's Labyrinth, tapi tak peduli seberapa sibuknya dia, dia akan pulang dan berganti baju. Aku berpikir begitu dan memejamkan mata. Aku mengulangi 'Aku tidak boleh tidur lelap' kepada diriku sendiri seperti mengucapkan mantra, tapi rasa lelah di hari yang berat membebani seluruh tubuhku segera setelah aku memejamkan mata. Ketidaknyamanan lantai marmer yang dingin segera menghilang, dan aku terlelap seperti orang pingsan. Dan saat aku membuka mata, terkejut oleh suara samar, aku hanya bisa linglung sejenak.

Dimana aku?

Aku memaksa mataku terpejam karena tidak bisa membuka dengan benar. Satu hal yang muncul di benakku adalah kasur empuk tempatku berbaring bukanlah lorong dimana aku terakhir memejamkan mata. Aku terkejut oleh fakta itu dan berusaha bangun, tapi sesuatu menekan dadaku. Uh? Aku hampir tidak bisa mengangkat kepala saat mendengat bisikan di telingaku.

"Itu ponselku."

Ponsel? Baru di saat itulah aku sadar suara yang membangunkanku adalah getaran ponsel. Dan badan besar yang menempel padaku berdiri di kegelapan. Mataku perlahan beradaptasi dengan cahaya fajar, dan aku sadar si orgil duduk di sampingku dan menjawab telepon. Dia menyandarkan tubuh bagian atasnya yang telanjang di kepala ranjang dan satu tangannya menyapu rambutnya. Otot keras yang sudah diperkuat lewat olahraga terlihat jelas bahkan dalam cahaya temaram di bidang penglihatanku yang terbatas.

"Baiklah."

Aku berusaha bangun lagi, mendengar suara rendahnya. Tapi dia merasakanku bahkan tanpa melihatku.

Plop.

Dia meletakkan kepalanya di bantal empuk sambil mendorong pundakku ke belakang.

"Beritahu dia untuk menunggu. Aku akan pergi sekarang."

Buk.

Si orgil dengan ringan melempar ponselnya ke meja dan menekan pundakku lalu mendorongku. Seperti biasa, aku menoleh untuk menghindarinya, tapi dia segera menekan tubuhnya ke tubuh bagian bawahku, membuatnya tak bisa bergerak. Lalu dengan satu tangan di kasur, dia mengangkat tubuh bagian atasnya dan bertanya datar.

PaybackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang