Rasa yang Tertahan

4 0 0
                                    

Karra pov

Aku berusaha sekuat tenaga untuk terlihat baik-baik saja didepan Alle. Sungguh aku tidak dalam keadaan baik.
Burukpun tak dapat mewakili perasaanku saat ini.

Kini semua berbalik padaku. Giliranku menunggu. Menunggu saat yg tepat untuk membalas perasaan alle. Dan sepertinya alle baru saja menemukan kebahagiaannya sendiri.

"Ehem... Alle jangan senyum2 sendiri! Apa perlu bapak bikinin acara komedy?"
Suara pak wiryo menyadarkanku
Bahkan ketika aku menangis dalam bingkai wajahku yg terlihat datar. Alle sedang tersenyum.

Double great.

Aku sepertinya sedang mendapat balasan yg teramat sangat menyakitkan.
Aku memilih diam, atau jika aku tetap memaksa bicara, hanya isak tangis yg akan keluar dari mulutku.

Saat bel istirahat, aku tau kebiasaan Alle pasti akan langsung menyeretku ke kantin untuk makan setelah jam pelajaran bu widi si penguras otakku yg pas2an ini berakhir.

Aku berpura2 menoleh kearah Dion, teman sekelas yg duduk tepat di kursi belakangku. Dion mungkin kaget melihatku untuk pertama kalinya membuka percakapan dengannya lebih dulu diluar masalah pelajaran atau tugas. Ini hanya aku gunakan untuk mengabaikan alle. Aku ingin tau sekeras apa usahanya untuk mencoba mencairkan hatiku yg sedang membeku karena malu pada diriku sendiri sudah sakit hati atas sikapnya yg bahkan itu semua karenaku.

Satu menit

Dua menit

Tiga menit

Alle tak menyelamatkanku dari gengsi.

Empat menit

Lima menit

Aku menoleh dan mendapati tempat duduk alle telah kosong. Badanku lemas seketika. Tubuhku meluruh hingga kepalaku tergeletak miring diatas meja.

"Ra, letoy banget. Laper lo?" tanya adisti hanya masuk dan keluar lewat telingaku tanpa sampai ke otak.

"Sweet, bentar ya? Bujuk Karra dulu buat makan! Wajahnya pucet banget." ucap adisti. Aku tau dia berbicara pada alex.

"Gue nggak laper dis." Ucapku lirih dan akhirnya bersambung dengan isakan.

Aku menangis, menggigit bibir bawahku. Mendapat simpati dari adisti melukaiku karena saat ini aku berharap simpati itu datang dari Alle.

"Ra lo harus makan, oke?" alex berjongkok tepat didepanku dan menatap bola mataku lekat.

"Gue nggak laper lex." balasku pelan masih dengan air mata yang terus menetes tanpa sanggup aku kontrol.

Disaat seperti ini, mereka yg malah ada disampingku dan bukan Alle. Bagaimana aku bisa baik2 saja bahkan Alle tyson tidak ada untuk karra meyssa.

"Please... Paling nggak kita beli minum bentar terus balik lagi. Lo bisa sakit." Bujuk alex tulus.

Aku bisa melihat raut sedih diwajahnya. Apa penyakit sedih ini telah menular, hingga seorang Alex bahkan matanya tampak berkaca-kaca.
"Iya Ra, Tenang aja ada gue. Gue sama alex bakal bantuin lo kalau lo kenapa-kenapa" Tambah adisti.

Aku tidak ingin mengecewakan mereka yg telah susah payah membujukku. Aku mengangkat kepala dan mengusap air mataku. Kemudian mengangguk pelan.

"Nah gitu dong." seru adisti langsung membantuku berdiri dan berjalan keluar kelas.

Tubuhku terasa lemas karena sejak pulang dari rumah sakit kemarin aku belum makan sedikitpun. Bagaimana bisa makan saat dadaku bahkan terasa sesak dan penuh. Sakit bahkan untuk minum sekalipun.

Ya Tuhan aku kesakitan.

Langkahku seketika terhenti. Ini yg tak ingin aku lihat. Ini yg ingin aku hindari..
Ini yg aku takutkan. Air mataku jatuh kembali dengan sempurna hanya dalam hitungan detik.

Second PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang